Perjanjian antara PT Indo Perkasa Usahatama (IPU) dan Yayasan Pusat Rekreasi dan Promosi Pembangunan (PRPP) Jateng tahun 1987 dinilai menyimpang. Perjanjian tersebut mengatur pemberian kuasa mutlak kepada PT IPU yang tidak dapat dicabut kembali dengan hak subsitusi sebagian atau seluruhnya, selama 75 tahun.
Perjanjian itulah yang menjadi sumber segala masalah di kemudian hari. Mengacu yurisprodensi sebelum dan sesudah 1987, pemberian kuasa mutlak dalam perjanjian tidak dapat dibenarkan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Tahun 1982 menyatakan, apabila ada kuasa mutlak, maka dapat dibatalkan.
Hal itu Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jateng Salman Maryadi dan Wakajati Didiek Soekarno, dalam dengar pendapat dengan Komisi A DPRD Jateng, di ruang rapat Komisi A, Selasa (11/5). Rapat dengar pendapat yang khusus membahas masalah PRPP tersebut juga mendengarkan keterangan Sekda Hadi Prabowo menyangkut kronologi permasalahan PRPP.
Rapat yang dipimpin Ketua Komisi A Fuad Hidayat pun,
dihadiri Ketua DPRD Murdoko, Wakil Ketua Komisi A Ir Atyoso Mochtar, Sekretaris Komisi A Samsul Bachri, Asintel Kejati Kadarsyah, dan Kepala Biro Hukum Pemprov Prasetyo Ariwibowo.
Salman Maryadi mengatakan, perjanjian tersebut memang janggal. Dia berujar, ”Dari data yang kami temukan, di sini PT IPU membuat perjanjian mewakili guberur dan PTIPU mewakili PT IPU sendiri. Ini memang aneh tapi ini nyata. Benar-benar terjadi.” Di samping itu, kejati juga menemukan surat gubernur Jateng (waktu itu) kepada wali kota Semarang, di mana pemprov memberi izin kepada wali kota untuk pembebasan lahan seluas 258 hektare. ”Surat ini ada nomornya, tanggal, dan tanda tangannya. Tidak tahu apakah setelah ini selanjutnya ada reklamasireklamasi, ini masih kami telusuri,” katanya.
Perda Tak Sinkron Menurut Salman, secara hukum adanya hak guna bangunan (HGB) di atas HPL itu sendiri tidak ada masalah dan memang diatur. Namun yang jadi pertanyaan, apakah pemberian HGB itu ada izinnya atau tidak.
Sebab ada yurisprodensi, yakni pada kasus tanah Hotel Hilton
Jakarta, HGB di atas HPL itu harus seizin Mendagri cq Dirjen Pertahanan.
Didiek Soekarno menuturkan, di samping itu saat ini ada problem lain, yakni pada lokasi yang disebut sebagai sarana penunjang PRPP itu terdapat perumahan. Itu dapat dianggap fungsi sarana penunjang itu sudah beralih.
Wilayah Permukiman Hal ini disebabkan munculnya Perda Kota Semarang yang menyatakan lokasi tersebut sebagai wilayah permukiman. ”Jadi antara Perda Pemprov dan Perda Kota tidak sinkron,” ujarnya.
Menyambung Didiek, Salman menambahkan, terhadap keluarga-keluarga warga Perum Royal Family yang sudah telanjur membeli HGB untuk perumahan mereka, secara undang-undang harus dilindungi. Sebab, dalam membeli itu mereka memiliki niatan baik.
Terhadap PT IPU, Salman mengutarakan, perusahaan ini pun telah memiliki prestasi. Dia menyebut, pada waktu mendapat perjanjian pemanfaatan lahan 186 ha, PT IPU telah mengeluarkan biaya untuk membebaskan dan mereklamasinya. Berapa biaya yang dikeluarkan IPU, itu dapat dihitung dan IPU berhak mendatangkan juru taksir.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar