oleh : Juwariyah dahlan
Pendahuluan
Pada dasarnya, alur perjalanan sejarah Islam yang panjang itu bermula dari
turunnya wahyu di gua Hira'. Sejak itulah nilai-nilai kemanusiaan yang di
bawah bimbingan wahyu Ilahi menerobos arogansi kultur jahiliyah, merombak
dan membenahi adat istiadat budaya jahiliyah yang tidak sesuai dengan
fitrah manusia. Dengan seruan agama tauhid (monotheisme) yang gaungnya
menggetarkan seluruh jazirah Arabia, maka fitrah dan nilai kemanusiaan
didudukkan ke dalam hakekat yang sebenarnya. Seruan agama tauhid inilah
yang merubah wajah masyarakat jahiliyah menuju ke tatanan masyarakat yang
harmonis, dinamis, di bawah bimbingan wahyu.
Kemudian, hijrah Rasulullah ke Madinah adalah suatu momentum bagi
kecemerlangan Islam di saat-saat selanjutnya. Dalam waktu yang relatif
singkat Rasulullah telah berhasil membina jalinan persaudaraan antara kaum
Muhajirin sebagai imigran-imigran Makkah dengan kaum Ansar, penduduk asli
Madinah. Beliau mendirikan Masjid, membuat perjanjian kerjasama dengan non
muslim, serta meletakkan dasar-dasar politik, sosial dan ekonomi bagi
masyarakat baru tersebut; suatu fenomena yang menakjubkan ahli-ahli sejarah
dahulu dan masa kini. Adalah suatu kenyataan bahwa misi kerasulan Nabi
Muhammad yang semakin nampak nyata menggoyahkan kedudukan Makkah dan
menjadikan orang-orang Quraisy Makkah semakin bergetar.
Masyarakat muslim Madinah yang berhasil dibentuk Rasulullah oleh sebagian
intelektual muslim masa kini disebut dengan negara kota (city state). Lalu,
dengan dukungan kabilah-kabilah dari seluruh penjuru jazirah Arab yang
masuk Islam, maka muncullah kemudian sosok negara bangsa (nation state).
Walaupun sejak awal Islam tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang
bagaimana bentuk dan konsep negara yang dikehendaki, namun suatu kenyataan
bahwa Islam adalah agama yang mengandung prinsip-prinsip dasar kehidupan
termasuk politik dan negara.
Dalam masyarakat muslim yang terbentuk itulah Rasulullah menjadi pemimpin
dalam arti yang luas, yaitu sebagai pemimpin agama dan juga sebagai
pemimpin masyarakat. Konsepsi Rasulullah yang diilhami al Qur'an ini
kemudian menelorkan Piagam Madinah yang mencakup 47 pasal, yang antara lain
berisikan hak-hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban bernegara, hak
perlindungan hukum, sampai toleransi beragama yang oleh ahli-ahli politik
moderen disebut manifesto politik pertama dalam Islam.
Piagam Madinah dan Keotentikannya
Piagam Madinah ini secara lengkap diriwayatkan oleh Ibn Ishaq (w. 151 H)
dan Ibn Hisyam (w. 213 H), dua penulis muslim yang mempunyai nama besar
dalam bidangnya. Menurut penelitian Ahmad Ibrahim al-Syarif, tidak ada
periwayat lain sebelumnya selain kedua penulis di atas yang meriwayatkan
dan menuliskannya secara sistematis dan lengkap. Meskipun demikian, tidak
diragukan lagi kebenaran dan keotentikan piagam tersebut, mengingat gaya
bahasa dan penyusunan redaksi yang digunakan dalam Piagam Madinah ini
setaraf dan sejajar dengan gaya bahasa yang dipergunakan pada masanya.
Demikian pula kandungan dan semangat piagam tersebut sesuai dengan kondisi
sosiologis dan historis zaman itu. Keotentikan Piagam Madinah ini diakui
pula oleh William Montgomery Watt, yang menyatakan bahwa dokumen piagam
tersebut, yang secara umum diakui keotentikannya, tidak mungkin dipalsukan
dan ditulis pada masa Umayyah dan Abbasiyah yang dalam kandungannya
memasukkan orang non muslim ke dalam kesatuan ummah.
Dari Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam inilah kemudian penulis-penulis berikutnya
menukil dan mengomentarinya. Di antara penulis-penulis klasik yang menukil
Piagam Madinah secara lengkap antara lain: Abu Ubaid Qasim Ibn Salam dalam
Kitab Al-Amwal, Umar al-Maushili dalam Wasilah al-Muta'abbidin dan Ibn
Sayyid dalam Sirah al-Nas. Sementara itu, beberapa penulis klasik dan
periwayat lainnya yang menulis tentang Piagam Madinah antara lain: Imam
Ahmad Ibn Hambal (w. 241 H) dalam Al-Musnad, Darimi ( w. 255 H) dalam
Al-Sunan, Imam Bukhori (w. 256 H) dalam Shahih-nya, Imam Muslim ( w.261 H)
dalam Shahih-nya. Tulisan-tulisan lain tentang piagam tersebut juga bisa
dijumpai dalam Sunan Abu Dawud (w. 272 H), Sunan Ibn Majah (w. 273 H),
Sunan Tirmidzi (w. 279 H), Sunan Nasa'i (w. 303 H), serta dalam Tarikh
al-Umam wa al-Muluk oleh al-Thabari.
Piagam Madinah ini telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa asing, antara
lain ke bahasa Perancis, Inggris, Itali, Jerman, Belanda dan Indonesia.
Terjemahan dalam bahasa Perancis dilakukan pada tahun 1935 oleh Muhammad
Hamidullah, sedangkan dalam bahasa Inggris terdapat banyak versi,
diantaranya seperti pernah dimuat dalam Islamic Culture No.IX Hederabat
1937, Islamic Review terbitan Agustus sampai dengan Nopember 1941 (dengan
topik The first written constitution of the world). Selain itu, Majid
Khadduri juga menerjemahkannya dan memuatnya dalam karyanya War and Pearce
in the Law of Islam (1955), kemudian diikuti oleh R. Levy dalam karyanya
The Social Structure of Islam (1957) serta William Montgomery Watt dalam
karyanya Islamic Political Thought (1968). Adapun terjemahan-terjemahan
lainnya seperti dalam bahasa Jerman dilakukan oleh Wellhausen, bahasa Itali
dilakukan oleh Leone Caetani, dan bahasa Belanda oleh A.J. Wensick serta
bahasa Indonesia --untuk pertama kalinya-- oleh Zainal Abidin Ahmad.
Menurut Muhammad Hamidullah yang telah melakukan penelitian terhadap
beberapa karya tulis yang memuat Piagam Madinah, bahwa ada sebanyak 294
penulis dari berbagai bahasa. Yang terbanyak adalah dalam bahasa arab,
kemudian bahasa-bahasa Eropa. Hal ini menunjukkan betapa antusiasnya mereka
dalam mengkaji dan melakukan studi terhadap piagam peninggalan Nabi.
Dalam teks aslinya, Piagam Madinah ini semula tidak terdapat pasal-pasal.
Pemberian pasal-pasal sebanyak 47 itu baru kemudian dilakukan oleh A.J.
Winsick dalam karyanya Mohammed en de joden te Madina, tahun 1928 M yang
ditulis untuk mencapai gelar doktornya dalam sastra semit. Melalui karyanya
itu, Winsick mempunyai andil besar dalam memasyarakatkan Piagam Madinah ke
kalangan sarjana Barat yang menekuni studi Islam. Sedangkan pemberian
bab-bab dari 47 pasal itu dilakukan oleh Zainal Abidin Ahmad yang
membaginya menjadi 10 bab.
Menurut hipotesis Montgomery Watt, bahwa Piagam Madinah yang sampai ke
tangan kita sebenarnya paling tidak terdiri dari dua dokumen, yang semula
terpisah kemudian disatukan. Pada tahap berikutnya, piagam tersebut
mengalami pengurangan dan perombakan disana sini. Hipotesis Montgomery Watt
ini muncul karena didapatinya pengulangan dalam beberapa pasalnya.
Selanjutnya, Watt menyebut bahwa Piagam Madinah kemungkinan baru muncul
setelah tahun 627 M, yaitu setelah pengusiran Yahudi bani Qainuqa' dan
Yahudi bani nadir dari Madinah serta pembasmian terhadap bani Quraidhah
berdasarkan keputusan Sa'ad Ibn Muad, pemimpin kabilah Aus.
Hipotesa terakhir ini dikemukakan oleh Montgomery Watt karena tiga suku
Yahudi terkemuka dimaksud tidak tercantum dalam Piagam Madinah. Akan
tetapi, kalau demikian halnya, berarti relevansi serta bobot politiknya
sudah sangat berkurang, karena isi piagam tersebut sangat diperlukan untuk
mempersatukan masyarakat Madinah yang heterogen. Ini berarti bahwa Piagam
Madinah disusun Rasulullah sejak awal kedatangannya di Madinah, yaitu
sekitar tahun 622 M. Dengan demikian, boleh jadi Piagam Madinah hanya satu
dokumen dan ditujukan kepada seluruh penduduk Madinah, yang kemudian
mengalami revisi setelah tiga suku Yahudi tersebut mengingkari perjanjian
secara sepihak dan melakukan gerakan separatis terhadap pemerintahan
Madinah yang telah disetujui bersama.
Berbagai Komentar Terhadap Isi Piagam Madinah
Ada berbagai komentar mengenai isi Piagam Madinah, baik yang datang dari
para sarjana Barat maupun dari penulis-penulis muslim sendiri. Diantaranya
dikemukakan oleh A. Guillaume, seorang guru besar bahasa Arab dan penulis
The Life of Muhammad. Ia menyatakan bahwa Piagam yang telah dibuat Muhammad
itu adalah suatu dokumen yang menekankan hidup berdampingan antara
orang-orang muhajirin di satu pihak dan orang-orang yahudi di pihak lain.
Masing-masing saling menghargai agama mereka, saling melindungi hak milik
mereka dan masing-masing mempunyai kewajiban yang sama dalam mempertahankan
Madinah. Sedangkan H.R. Gibb dalam komentarnya menyatakan bahwa isi Piagam
Madinah pada prinsipnya telah meletakkan dasar-dasar sosial politik bagi
masyarakat Madinah yang juga berfungsi sebagai undang-undang, dan merupakan
hasil pemikiran serta inisiatif Muhammad sendiri. Sementara itu, Montgomery
Watt lebih tepat lagi menyatakan: bahwa Piagam Madinah tidak lain adalah
suatu konstitusi yang menggambarkan bahwa warga Madinah saat i
tu bisa dianggap telah membentuk satu kesatuan politik dan satu persekutuan
yang diikat oleh perjanjian yang luhur diantara para warganya.
Di kalangan penulis Islam yang mengulas isi Piagam ini antara lain
Jamaluddin Sarur, seorang guru besar Sejarah Islam di Universitas Kairo,
yang menyatakan bahwa peraturan yang terangkum dalam Piagam Madinah adalah
menjadi sendi utama bagi terbentuknya persatuan bagi segenap warga Madinah
yang memberikan hak dan kewajiban yang sama antara kaum Muhajirin, Ansor
dan kaum Yahudi
Muhammad Khalid, seorang penulis sejarah Nabi menegaskan bahwa isi yang
paling prinsip dari Piagam Madinah adalah membentuk suatu masyarakat yang
harmonis, mengatur suatu ummah serta menegakkan pemerintahan atas dasar
persamaan hak. Ulasan lebih terperinci lagi disimpulkan oleh Hasan Ibrahim
Hasan, bahwa Piagam Madinah secara resmi menandakan berdirinya suatu
negara, yang isinya bisa disimpulkan menjadi 4 pokok: Pertama,
mempersatukan segenap kaum muslimin dari berbagai suku menjadi satu ikatan.
Kedua, menghidupkan semangat gotong royong, hidup berdampingan, saling
menjamin di antara sesama warga. Ketiga, menetapkan bahwa setiap warga
masyarakat mempunyai kewajiban memanggul senjata, mempertahankan keamanan
dan melindungi Madinah dari serbuan luar. Keempat, menjamin persamaan dan
kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk-pemeluk agama lain dalam mengurus
kepentingan mereka.
Sesungguhnya masih banyak lagi ulasan dan komentar yang dikemukakan oleh
para penulis Piagam Madinah. Mereka menggunakan berbagai retorika dan
redaksi yang berbeda, namun pada dasarnya mempunyai nada sama, yaitu
berintikan bahwa piagam tersebut telah mempersatukan warga Madinah yang
heterogen itu menjadi satu kesatuan masyarakat, yang warganya mempunyai hak
dan kewajiban yang sama, saling menghormati walaupun berbeda suku dan
agamanya. Piagam tersebut dianggap merupakan suatu pandangan jauh ke depan
dan suatu kebijaksanaan politik yang luar biasa dari Nabi Muhammad dalam
mengantisipasi masyarakat yang beraneka ragam backgroundnya, dengan
membentuk komunitas baru yang disebut ummah.
Cakupan Pengertian Ummah Dalam Piagam Madinah
Menyadari pentingnya perkataan ummah, terlebih lagi perkataan tersebut
tercantum jelas dalam Piagam Madinah, maka timbullah usaha para sarjana
barat dalam melacak asal usul perkataan tersebut. Dalam Encyclopaedia of
Islam dikemukakan bahwa perkataan ummah tidaklah asli dari bahasa arab.
Menurut Montgomery Watt, perkatan ummah berasal dan berakar dari bahasa
Ibrani yang bisa berarti suku bangsa atau bisa juga berarti masyarakat.
Terlepas dari pelacakan asal usul kata ummah ini, yang jelas dalam Al
Qur'an dijumpai sebanyak 52 perkataan ummah yang terangkai dalam berbagai
ayat.
Kata ummah terulang dua kali dalam Piagam Madinah, yakni dalam pasal 2 dan
pasal 25. Namun, cakupan dari rumusan ummah itu sendiri terjabarkan dalam
pasal-pasal selanjutnya,yakni:
Pasal 1: Hadza kitabun min 'indi al-nabiyyi (rasulillah) baina al-mu'minin
wa al-muslimin min quraisyin wa ahli yatsriba wa mantabi'ahum faltaqi bihim
wa jahid ma'ahum
Artinya:
"Ini adalah naskah perjanjian dari Muhammad Nabi dan Rasul Allah, mewakili
pihak kaum yang Beriman dan memeluk Islam, yang terdiri dari warga Quraisy
dan warga Yastrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka serta yang
berjuang bersama mereka."
Pasal 2: Annahum ummatun wahidatun min duni al-nasi
Artinya:
"Mereka adalah yang satu dihadapan kelompok manusia lain."
Pasal 25: Wa anna yahuda bani 'Auf ummatun ma'a al-mu'minin, lil yahudi
dinuhum wa lil muslimin dinuhum, mawalihim wa anfusuhum illa man dlalama wa
atsima, fa innahu la yuqi'u illa nafsahu wa ahla baitihi
Artinya:
"Kaum Yahudi Bani 'Auf bersama dengan warga yang beriman adalah satu umah.
Kedua belah pihak, kaum Yahudi dan kaum Muslimin, bebas memeluk agama
masing-masing. Demikian pula halnya dengan sekutu dan diri mereka sendiri.
Bila diantara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hal ini, maka
akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya.
Pasal 26: Wa anna li yahuda bani al-Najjari mitsla ma liyahuda bani 'Auf
Artinya:
"Bagi kaum Yahudi Bani Najjar berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku
bagi kaum Yahudi Bani 'Auf."
Pasal 27: Wa anna li yahuda bani al-Haritsi mitsla ma liyahuda bani 'Auf
Artinya:
"Bagi kaum Yahudi Bani Harits, berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku
bagi kaum Bani 'Auf."
Pasal 28: Wa anna li yahuda bani Sa'adah mitsla ma li yahuda bani 'Auf
Artinya:
"Bagi kaum Yahudi Bani Sa'idah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku
bagi kaum Bani 'Auf."
Pasal 29: Anna li yahuda bani Jusyam mitsla ma li yahuda bani 'Auf
Artinya:
"Bagi kaum Yahudi Bani Jusyam berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku
bagi kaum Bani 'Auf."
Pasal 30: Wa anna li yahuda bani al-Aus mitsla ma li yahuda bani 'Auf
Artinya:
"Bagi kaum Yahudi Bani 'Aus berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi
kaum Yahudi Bani 'Auf."
Pasal 31: Wa anna li yahuda bani Tsa'labah mitsla ma li yahuda bani 'Auf
illa man dlalama wa atsima, fa innahu la yuqi'u illa nafsahu wa ahla
baitihi
Artinya:
"Bagi Yahudi Bani Tsa'labah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi
kaum Yahudi Bani "Auf, kecuali orang yang melakukan aniaya dan dosa (dalam
hubungan ini) maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya."
Pasal 32: Wa anna Jafnah bathnun 'an Tsa'labah ka anfusihim
Artinya:
"Bagi warga Jafnah, sebagaimana anggota Bani Tsa'labah, berlaku ketentuan
sebagaimana yang berlaku bagi Bani Tsa'labah."
Pasal 33: Wa anna li bani al-Syuthaibah mitsla ma li yahuda bani 'Auf, wa
anna al-birra duna al-itsmi
Artinya:
"Bagi Bani Syuthaibah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum
Yahudi Bani 'Auf. Dan sesungguhnya yang kebajikan itu berbeda dengan
perbuatan dosa."
Pasal 34: Wa anna mawali Tsa'labah ka anfusihim
Artinya:
"Sekutu/hamba sahaya Bani Tsa'labah berlaku ketentuan sebagaimana yang
berlaku bagi kaum Bani Tsa'labah itu sendiri."
Pasal 35: Wa anna bithanata yahuda ka anfusihim
Artinya:
"Kelompok-kelompok keturunan Yahudi berlaku ketentuan sama sebagaimana yang
berlaku bagi Kaum Yahudi itu sendiri."
Pasal 37: Wa anna 'ala al-yahudi nafaqatahum, wa 'ala almuslimin
nafaqatahum, wa anna bainahum al-nashru 'ala man haraba ahla hadzihi
al-shahifah, wa anna bainahum al-nushhu wa alnahihatu wa al-birru duna
al-itsmi
Artinya:
"Kaum Yahudi dan kaum Muslimin membiayai pihaknya masing-masing. Kedua
belah pihak akan membela satu dengan yang lain dalam menghadapi pihak yang
memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui piagam ini. Kedua
belah pihak juga saling memberikan saran dan nasehat dalam kebaikan, bukan
dalam perbuatan dosa."
Pasal 44: Wa anna bainahum al-nashru 'ala man hajama yatsriba
Artinya:
"Semua warga akan saling bahu membahu dalam menghadapi agresor (pihak lain)
yang melancarkan serangan terhadap Yastrib."
Pasal 46: Wa anna yahuda al-Aus mawalihim wa anfusuhum 'ala mitsli ma li
ahli hadzihi al-shahifati ma'a al-birri al-mahdli min ahli hadzihi
al-shahifati, wa anna al-birra duna al-itsmi la yaksibu kasibun illa 'ala
nafsihi, wa anna Allaha 'ala ashdaqi ma fi hadzihi al-shahifati wa abarrihi
Artinya:
"Kaum Yahudi Bani 'Aus, sekutu/hamba sahaya dan diri mereka masing-masing
mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana kelompok-kelompok lain yang
menyetujui piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan sesuai dengan
semestinya dari perjanjian ini. Sesungguhnya kebajikan ini berbeda dengan
perbuatan dosa. Setiap orang harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan
yang dilakukannya. Dan Allah memperhatikan isi perjanjian ini, dan
membenarkannya."
Pasal 47: Wa annahu la yahulu hadza al-kitaba duna dlalimin au atsimin, wa
annahu man kharaja amana wa man qa'ada amina bi al-Madinah illa man dlalama
wa atsima, wa anna Allaha jara li man barra wa ittaqa. Muhammad rasulullah
(SAW).
Artinya:
"Sesungguhnya perjanjian ini tidak membela orang-orang yang berbuat aniaya
dan dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berada di luar
Madinah maupun sedang berada di Madinah, kecuali orang yang berbuat aniaya
dan dosa. Dan sesungguhnya Allah pelindung orang yang berbuat kebajikan dan
menghindari keburukan (bersikap taqwa). Muhammad Rasulullah SAW."
Dapatlah dipahami bahwa perkataan ummah dalam rangkaian pasal-pasal yang
tercantum di atas mempunyai pengertian yang sangat dalam, yakni berubahnya
paham kesukuan yang hidup di kalangan suku-suku Arab saat itu. Cakrawala
wawasan sosial yang sangat sempit, dan kehidupan politik yang terbatas,
karena fanatisme kabilah (kesukuan) dan ikatan darah yang dibatasi oleh
tembok kelahiran, pelan-pelan mulai runtuh berganti dengan suatu masyarakat
yang luas, di mana masing-masing dari warganya mempunyai hak dan kewajiban
yang sama. Dengan demikian, Nabi Muhammad telah menciptakan kondisi untuk
terbinanya suatu masyarakat yang bersatu, yakni komunitas masyarakat
Madinah yang utuh, tanpa membedakan agama, ikatan kesukuan dan ikatan
darah. Hal itu jelas sekali tercantum dalam pasal 25 sampai dengan pasal 47
Piagam Madinah.
Dari perkataan ummah inilah tercermin paham kebangsaan dan negara. Walaupun
secara historis istilah state dan nation timbul berabad-abad kemudian, tapi
jiwa dan semangatnya telah tercermin dalam terminologi ummah, suatu istilah
yang sangat tepat digunakan Rasulullah untuk mempersatukan masyarakat
Madinah menjadi suatu komunitas dengan menekankan kerjasama seerat mungkin
dari masing-masing warganya demi keamanan dan kesejahteraan mereka bersama.
Mereka sangat menyadari perlunya hidup bersama di dalam koeksistensi yang
damai. Realisasinya yang praktis dari tujuan ini meminta dasar konsepsi
bersama yang dapat diterima oleh semua pihak dan di atas dasar ini dapat
dibangun keselarasan hidup dan perdamaian.
Julius Welhausen mengomentari terminologi ummah dalam Piagam Madinah ini
sebagaimana berikut: Bahwa pada umumnya pengertian ummah adalah suatu
ikatan dalam komunitas keagamaan. Namun, terminologi ummah dalam piagam
ini, mempunyai pengertian yang lebih luas lagi, mencakup seluruh wilayah
Madinah, mengintegrasikan warga Ansar, Muhajirin dan kaum Yahudi serta
kelompok-kelompok lain dalam satu ikatan persatuan dan perdamaian serta
keselarasan hidup.
Sementara itu, Montgomery Watt menyatakan bahwa masalah yang menonjol dalam
komunitas ini (ummah) adalah penciptaan kedamaian dan ketentraman di
kalangan warga Madinah. Masalah tersebut bukan hanya terjadi di Madinah
saja, tapi juga problem di seluruh jazirah Arabia saat itu. Namun demikian,
Muhammad berhasil mengangkatnya dan menegakkannya dalam suatu sistem baru
yang mengatasi paham kesukuan, golongan dan ikatan-ikatan lain. Memang,
masing-masing kepala suku yang sebelumnya mempunyai kekuatan/kekuasaan
politik dan hanya berhubungan dengan kepala suku lainnya, maka dalam bentuk
bangunan masyarakat baru itu, suku-suku yang ada saat itu seakan membentuk
suatu konfiderasi yang tergabung dalam suatu kesatuan yang dinamakan ummah
dan di bawah pimpinan Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, tergambar bahwa
pengertian ummah dalam piagam ini adalah adanya/timbulnya suatu paham
politik baru di kalangan warganya, yakni kesadaran paham bernegara,
walaupun dalam bentuk yang amat sederhana. Dapat pula dipahami bahwa kata
um
mah dalam Piagam Madinah ini, berbeda pengertiannya dengan makna yang
selama ini lazim dipahami yang mengacu kepada komunitas agama. Dalam al
Qur'an kata ummah juga tidak selalu menunjuk kepada komunitas agama. Ahmad
Mustofa al-Maraghi mengemukakan batasan pengertian kata ummah dari berbagai
ayat sebagaimana berikut:
1. Kata ummah dalam pengertian umat manusia seluruhnya (satu kelompok) yang
hidup saling mengadakan interaksi antara satu dengan lainnya, seperti dalam
firman Allah:
"Kana al-nasu ummatan wahidatan, fa ba'atsa Allahu al-nabiyyina
mubasysyirina wa mundzirina"
Artinya:
"Manusia adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para Nabi, sebagai
pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan."
2. Kata ummah, dalam pengertian umat Islam, sebagaimana firman Allah:
"Kuntum Khaira ummatin ukhrijat li al-nasi ta'muruna bi al-ma'rufi wa
tanhauna 'an al-munkari"
Artinya:
"Kamu adalah ummah yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar."
3. Kata ummah, dalam pengertian segolongan dari umat Islam (tha'ifah min
al-muslimin) sebagaimana firman Allah:
"Waltakun minkum ummatun yad'una ila al-khairi wa ya'muruna bi al-ma'rufi
wa yanhauna 'an almunkari wa ulaika hum al-muflihun"
Artinya:
"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar,
merekalah orang-orang yang beruntung."
4.. Kata ummah dalam pengertian imam (pemimpin) yang diteladani
sebagaimana firman Allah:
"Inna ibrahima kana ummatan qanitan lillahi hanifan wa lam yaku min
al-musyrikin
Artinya:
"Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi
patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah termasuk orang-orang
yang menyekutukan (Tuhan)."
5.. Kata ummah, dalam pengertian suatu periode waktu sebagaimana
tercantum dalam Al-Qur'an:
"Qala alladzi naja minhuma wa id-dakara ba'da ummatin ana unabbi'ukum bi
ta'wilihi fa arsilun"
Artinya:
"Dan berkatalah orang-orang yang selamat diantara mereka berdua dan
teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya; "Aku akan
memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mentakwilkan mimpi itu,
maka utuslah aku (kepadanya).
Kata ummah dalam pengertian suatu periode waktu dapat pula ditemukan dalam
surat Hud ayat 8 :
"Wa lain akhkharna 'anhum al-'adzaba ila ummatin ma'dudatin"
Artinya:
"Dan sesunggunnya jika kami Undurkan azab dari mereka sampai kepada suatu
waktu yang ditentukan."
6.. Kata ummah dalam pengertian millah (agama) sebagaimana yang
terkandung dalam firman Allah:
"Inna hadzihi ummatukum ummatan wahidatan wa ana rabbukum fa'budun"
Artinya:
"Sesungguhnya agama tauhid ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan
Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku."
Dari berbagai ayat yang dikemukakan oleh Ahmad Musthafa Al Maraghi di atas,
terbukti bahwa pengertian kata ummah dalam Al-Qur'an selalu sesuai dengan
konteks dimana kata itu dipergunakan. Dengan kata lain, kata ummah tidak
selalu menunjukkan pada suatu komunitas agama. Demikian pula terma-terma
ummah yang digunakan Rasullah dalam Piagam Madinah tidak hanya eksklusif
bagi kaum muslimin saja, namun mempunyai kandungan pengertian al-jinsiyyah
wa al-wathaniyyah.
Dhafir al-Qasimi, dalam ulasannya mengenai kata ummah pada Piagam Madinah,
memberikan padanan kata tersebut dengan al-wathaniyyah, semacam wawasan
kebangsaan. Sedangkan urgensi ideal yang terkandung dalam kata ummah pada
piagam tersebut adalah untuk menghapus fanatisme etnis dan mengikis paham
rasialisme diantara warga Madinah.
Piagam Madinah Suatu Konstitusi
Banyak diantara penulis muslim beranggapan bahwa Piagam Madinah adalah
merupakan konstitusi negara Islam pertama. Namun, satu hal yang perlu
dicatat bahwa dalam Piagam Madinah tidak pernah disebut-sebut agama negara.
Persoalan penting yang meminta pemecahan mendesak adalah terbinanya
kesatuan dan persatuan di kalangan warga Madinah yang heterogen itu. Semua
warga Madinah saat itu meskipun mereka berasal dari berbagai suku adalah
merupakan satu komunitas (ummah). Hubungan antara sesama warga yang muslim
dan yang non muslim didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga yang baik,
saling membantu dalam menghadapi agresi dari luar dan menghormati kebabasan
beragama. Persyaratan sebuah negara, walaupun masih sederhana, telah
terpenuhi, yakni ada wilayah, pemerintahan, negara, rakyat, kedaulatan dan
ada konstitusi.
Penilaian Piagam Madinah sebagai suatu konstitusi pernah dikemukakan oleh
Hamilton Alexander Rosskeem Gibb, mantan guru besar bahasa Arab di Oxford
University, bahwa Piagam Madinah adalah merupakan hasil pemikiran yang
cerdas dan inisiatif dari Nabi Muhammad dan bukanlah wahyu. Oleh karena
itu, sifat konstitusinya dapat diubah dan diamandir. Muhammad Marmaduke
Pickthal, dalam mukaddimah terjemahannya terhadap al-Qur'an, mengatakan
bahwa Nabi sebagai seorang pemimpin mempunyai perhatian yang besar untuk
menstabilkan masyarakat Madinah dengan mencetuskan konstitusi. Konstitusi
yang dimaksud Pickthal tak lain adalah Piagam Madinah. Sementara itu,
Montgomery Watt dalam uraiannya mengenai piagam dimaksud secara tegas juga
menyebutnya sebagai konstitusi, yakni Konstitusi Madinah.
Terbinanya masyarakat Madinah menjadi suatu komunitas kuat yang selanjutnya
juga disebut negara kota itu, karena dilandasi oleh adanya ikatan spiritual
keimanan yang diungkapkan dalam nilai-nilai religius. Adalah tepat sekali
teori Ibnu Khaldun yang menyatakan: "Sesungguhnya secara umum dapatlah
dikatakan, bahwa bangsa Arab tidaklah mampu mendirikan suatu kerajaan
melainkan atas dasar agama seperti wahyu seorang Nabi atau ajaran seorang
wali". Lebih lanjut, Ibnu Khaldun menjelaskan:
Sebabnya ialah karena karakternya yang keras, angkuh dan iri hati satu sama
lain, terutama dalam soal-soal politik (kekuasaan). Semua itu menyebabkan
mereka manusia yang sulit diatur, karena keinginannya jarang sekali
terpenuhi. Akan tetapi, jika mereka telah memeluk agama yang dibawa oleh
seorang nabi atau mengikuti ajaran seorang wali, maka mereka akan mempunyai
prinsip-prinsip yang tertanam dalam lubuk hati untuk menguasai hawa nafsu.
Keangkuhan dan iri hati mereka bisa ditekan. Dengan demikian, mudahlah
menyatukan dan membimbimbing mereka. Sebab, agama mengikis keangkuhan dan
mengurangi iri hati dan persaingan.
Teori Ibnu Khaldun secara tepat disimpulkan oleh D.B. MacDonald bahwa orang
Arab pada hakekatnya tidak mampu mendirikan suatu pemerintahan, kecuali
bila disatukan dengan semangat keagamaan. Teori tersebut kiranya memang
bisa diterapkan paling tidak di kalangan orang badui Arab pada awal-awal
perkembangan Islam. Dengan kata lain, kebenaran teori Ibnu Khaldun tersebut
juga bisa dicarikan buktinya melalui sejarah awal berdirinya kerajaan Arab
Saudi oleh Muhammad Ibnu Saud (1702-1792 M) yang pergerakannya ditopang
kuat dengan paham keagamaan dari Muhammad Ibnu Abd. Al-Wahab (1703-1787 M),
seorang ulama pelanjut paham ortodoksi Ibnu Taimiyah (1263-1328 M).
Kesatuan umat yang dicetuskan Nabi melalui Piagam Madinah ini, substansinya
jelas menunjukkan bahwa konstitusi kesukuan runtuh dengan sendirinya. Dalam
perspektif ini, maka tegaknya suatu konstitusi mulai terwujud bagi
masyarakat baru Madinah, yang sekaligus juga menunjukkan bahwa Nabi
Muhammad mulai diakui sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan politik.
Sayangnya, dalam perkembangan selanjutnya ada beberapa kelompok Yahudi
seperti Bani Qainuqa', Bani Nadir dan Bani Quraidhah yang tidak setia
terhadap konstitusi yang disetujui bersama. Ketidaksetiaan ini, mereka
proyeksikan melalui sikap-sikap pemihakan kepada Quraisy Makkah.
Kesimpulan
1.. Piagam Madinah adalah jawaban konstitusional terhadap realitas
sosio-politik dari masyarakat Madinah yang heterogen.
2.. Konsep ummah yang terkandung dalam Piagam Madinah meliputi penduduk
Madinah secara keseluruhan dan merupakan suatu terobosan yang mempunyai
nilai strategis untuk menggalang satu front dalam menghadapi
kelompok-kelompok lain di luar Madinah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar