Dugaan Suap Terpilihnya Miranda Goeltom Megawati Sanksi Kader PDIP Terlibat
JAKARTA- Sembilan belas mantan anggota Komisi IX dari Fraksi PDIP diduga menerima suap senilai total Rp 9,8 mil- iar dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indone- sia (BI) yang akhirnya dimenangi Miranda Swaray Goeltom pada tahun 2004.Mereka mendapat cek perjalanan (traveller's cheque atau TC) dengan jumlah bervariasi, dari Rp 500 juta hingga Rp 1,45 miliar per orang.
Hal itu terungkap dalam dakwaan terhadap mantan anggota Komisi IX DPR dari FPDIP, Dudhie Makmun Murod, yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberan- tasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (8/3).
Jaksa menyebutkan, cek perjalanan itu diser- ahkan seseorang bernama Ahmad Hakim Safary alias Arie Malangjudo kepada Dudhie.
Selanjutnya, cek dibagi-bagikan ke anggota FPDIP lainnya.
Menurut jaksa, Ahmad Hakim menyerahkan uang itu atas perintah Nunun Nurbaeti. Nunun adalah istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun yang kini menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
''Setelah menerima cek perjalanan senilai Rp 9,8 miliar, terdakwa Dudhie memberitahu Panda Nababan, dan oleh Panda disarankan untuk mem- bagikan ke anggota Komisi IX dari PDIP. Dari pembagian, Panda menerima Rp 1,45 miliar,'' ungkap Ketua Tim Jaksa, Muhammad Rum.
Dia menambahkan, Panda Nababan sebagai koordinator pemenangan Miranda S Gultom menghubungi terdakwa Dudhie beberapa saat sete- lah pemilihan Deputi Gubernur Senior BI di Gedung Nusantara I DPR.
''Panda, melalui telepon meminta terdakwa Dudhie menemui seseorang yang bernama Ahmad Hakim Safary alias Arie Malangjudo di Restoran Bebek Bali, di kompleks Taman Ria Senayan untuk menerima titipan dari Nunun Nurbaeti,'' kata Rum.
Jaksa juga menyebutkan, Nunun meminta Ahmad Hakim untuk menyerahkan amplop berisi cek perjalanan Bank Internasional Indonesia (BII) yang sudah diberi label warna merah, kuning, hijau, dan putih.
Sesampainya di restoran, terdakwa Dudhie bertemu dengan Ahmad Hakim dan menerima sebuah karton berlabel warna merah berisi cek per- jalanan BII dalam amplop tertutup.
Rum menjelaskan, uang tersebut kemudian dibagikan kepada anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004. Mereka di antaranya Willem M Tutuarima, Agus Condro, Muhammad Iqbal, .
Budiningsih, Poltak Sitorus, Aberson M Sihaloho, Rusman Lumban Toruan, Max Moein, Jeffrey Tongas Lumban Batu, Engelina A Pattiasina, Suratal, Ni Luh Mariana Tirta Sari, dan Suwarno, masing-masing menerima Rp 500 juta.
Kemudian Sutanto Pranoto merima Rp 600 juta, i Matheos Pormes Rp 350 juta, dan Panda Nababan Rp 1,45 miliar. ''Sisanya diberikan oleh Panda kepada Sukardjo Hardjosoewirjo dan Emir Moeis masing-masing Rp 200 juta,'' ujar Rum.
Jaksa memaparkan, terdakwa Dudhie selaku i anggota komisi IX DPR pada awal bulan Mei 2004 menerima tugas untuk melaksanakan proses uji kepatutan dan kelayakan dalam rangka memilih i Deputi Gubernur Senior BI.
Selanjutnya sekitar bulan Juni 2004 bertempat di ruang rapat fraksi PDIP, terdakwa mengikuti rapat i internal fraksi. Dalam rapat tersebut Tjahjo Kumolo menyampaikan bahwa PDIP menca- lonkan dan mendukung Miranda sebagai calon Deputi Gubernur Senior (DGS), sehingga anggota i Fraksi PDIP pada Komisi IX diminta untuk menga- mankan dan berkonsentrasi penuh dalam pemili- han tersebut.
Dikatakannya, pada 29 Mei 2004 FPDIP meng- gelar rapat di Klub Bimasena Hotel Dharma- i wangsa. Rapat itu diikuti Miranda, Ketua FPDIP Tjahjo Kumolo, Panda Nababan, Emir Moeis, Max , Moein dan anggota Komisi IX lainnya.
Pertemuan itu dimaksudkan untuk lebih menge- nal sosok Miranda. Pada 8 Juni 2004 digelar pemilihan DGS BI yang akhirnya memilih Miranda yang mengungguli dua calon lainnya, yaitu Budi Rochadi dan Hartadi A Sadono.
Pemberi Suap Mantan anggota Komisi IX DPR Agus Condro Prayitno, orang pertama yang mengungkap kasus tersebut, menilai, upaya KPK belum maksimal, karena hingga saat ini para pemberi suap belum tersentuh.
Sebagai orang yang menerima cek perjalanan senilai Rp 500 juta, dia mengaku tidak tahu siapa sebenarnya yang memberi atau menyediakan anggaran tersebut. Oleh karena itu dia berharap, KPK mengembangkan kasus dengan memanggil dan menahan pemberi cek perjalanan tersebut.
Sebab, Dudhie Makmun Murod ''hanya'' bertugas menyalurkan.
''Dudhie kan orang yang diperintahkan untuk mengambil uang di sebuah restoran di kawasan Senayan. Namun siapa gerangan yang menyer- ahkan kepada Dudhie, hingga kini belum terungkap,'' tuturnya.
Agus berharap dalam Pengadilan Tipikor, nama pemberi suap bisa diungkap. Sebab, dalam kasus suap biasanya si pemberi dan penerima sama-sama terkena hukuman.
Menurutnya, setelah uang diterima di restoran tersebut, lalu diserahkan kepada mantan Ketua Komisi IX DPR Izedrik Emir Moeis DPR di ruang kerjanya. ''Saya menerima cek perjalanan tersebut di ruang kerja Emir Moeis. Ada sekitar lima orang yang menerimanya di ruang yang sama. Perlu dikembangkan juga, siapa yang memerintahkan agar cek tersebut diambil,'' ujarnya.
Agus menegaskan, cek yang diterimanya itu sudah dipilah dalam amplop yang berbeda. Agus bersama tiga orang anggota Dewan lainnya ke ruangan tersebut, dan Dudhie yang mengambilkan amplop-amplop tersebut dari dalam map yang ada di meja kerja Emir Moeis. ''Dudhie mengambilkan dari map yang ada di meja Emir Moeis, kemudian membagikan kepada kami berempat.'' Agus mengaku tidak khawatir bila akhirnya mengalami hal serupa dengan teman-temannya yang ditahan. Sebab dia menyadari, pengakuannya secara terbuka kepada media massa beberapa waktu lalu bisa menyeretnya ke penjara. ''Saat saya mengungkapkan kasus ini, saya sudah menyadari segala konsekuensinya. Oleh karena itu, saya tidak khawatir dan siap menerima. Apapun konsekuensi- nya, akan saya jalani,'' katanya.
Namun, Agus menyesalkan sikap pimpinan PDIP, yang dikatakannya telah melakukan kebo- hongan publik. Sebab, saat dia mengungkapkan kasus tersebut, Agus justru dituduh ''mengigau'' dan bahkan di-recall dari DPR.
''Itu artinya mereka dengan sadar dan sengaja telah melakukan kebohongan publik untuk menu- tupi kesalahan yang mereka perbuat. Orang-orang seperti itu sebenarnya tidak layak memimpin partai atau fraksi, sehingga sudah seharusnya, Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri mem- bersihkan orang-orang seperti itu,'' tegasnya.
Pembersihan itu, lanjut Agus, dimaksudkan agar PDIP menjadi partai yang baik dan tidak memiliki beban. Lain halnya bila sejak awal, para penerima mengakui perbuatannya.
Dia juga menganggap orang-orang semacam itu sebenarnya patut dikasihani. Sebab mereka secara tidak sadar telah menunjukkan kepada publik bagaimana integritas mereka sesungguhnya.
''Padahal sejak awal saya mengimbau agar bersama-sama mengembalikan. Tapi mereka me- nolak dan menyalahkan saya serta membantah menerima.'' Sementara itu, Nunun Nurbaeti membantah memerintahkan pembagian uang kepada Dudhie Makmun Murod. Nunun menegaskan, keterangan itu hanya datang dari satu pihak, yakni Ahmad Hakim alias Arie Malangjudo.
"Itu kan menurut Arie. Buktinya apa klien kami yang bagi-bagi uang? Semua orang boleh ngomong itu," kata pengacara Nunun, Partahi Sihombing.
Partahi meminta jaksa tidak asal melibat- libatkan kliennya, kecuali ada bukti yang kuat. Lagi pula, Nunun tidak pernah diperiksa KPK sebagai saksi bagi Dudhie. Kedatangan ke KPK hanya untuk dimintakan klarifikasi terkait kasus itu.
Namun bila kemudian dipanggil di persidangan, Nunun siap memberikan keterangan.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyatakan, dirinya belum yakin atas keterlibatan sejumlah anggota partainya dalam kasus itu. ''Kita lihat saja. Proses hukum kan masih berjalan,'' katanya di sela-sela Konferda PDIP Jateng, Senin (8/3).
Menurut dia, boleh saja jaksa menyebutkan nama-nama dalam persidangan. ''Tugas JPU memang itu. Proses pengadilan belum selesai, masih berlanjut,'' ujar Mega yang didampingi Sekjen Pramono Anung.
Kalaupun nanti dalam proses hukum politikus PDIP terlibat penyuapan, Mega memastikan akan ada sanksi yang dijatuhkan. Menurut dia, pemberian sanksi selalu dijalankan sebagai mekanisme partai ''Sanksi itu salah satu hal yang wajib di organisasi,'' tegasnya.
Di tempat yang sama Ketua FPDIP DPR Tjahjo Kumolo mengakui dirinya memberi arahan pada anggota fraksi, khususnya di Komisi IX DPR periode 1999-2004, untuk memenangkan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI. Namun, soal suap ia mengaku tidak tahu. ''Kalau soal itu (uang), saya tidak tahu," kata dia.