Kecurigaan ini berdasar pada dua kasus pajak besar yang terjadi dalam pemerintahan SBY periode sebelumnya yang melibatkan pengusaha yang disinyalir memiliki hubungan dekat dengan SBY, yakni Siti Hartati Murdaya dan PT Asian Agri.
Kontainer berisi puluhan ribu sepatu milik Central Cipta Murdaya (CCM) yang keluar tanpa izin ditangkap petugas Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta pada akhir Maret 2007. Sang pengusaha, Hartati Murdaya, sempat mendatangi Dirjen Bea Cukai Anwar Suprijadi.
Menurut Hartati Murdaya, kontainer itu keluar karena ada permainan di tingkat bawah yang tidak diketahui pihak manajemen perusahaannya. Tetapi sang Dirjen Bea Cukai bersikukuh tetap memproses penyelundupan ini.
Tak mau kalah, Hartati Murdaya melayangkan surat kepada atasan Anwar, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sejak itu, kasus penyelundupan sepatu milik Hartati Murdaya ini tak jelas lagi juntrungannya.
'Catatan Gelap' Sri Mulyani Soal Pajak
Jakarta - Sri Mulyani selama menjabat Menteri Keuangan pernah membebaskan penunggak pajak. Yaitu pada perkara pajak PT Ramayana Lestari Sentosa.
Saat itu tersangka adalah Paulus Tumewu. Dia dibebaskan setelah membayar tunggakan plus denda sebanyak Rp 40 miliar. Dan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berperan besar dalam penghentian penyidikan wajib pajak atas tersangka.
Dimana, Komisaris Utama PT Ramayana Lestari Sentosa itu adalah tersangka kasus penunggakan pembayaran pajak sebesar Rp 7,99 miliar. Saat itu, berkas penyidikannya sudah lengkap alias P 21.
Seharusnya, perkara itu segera bergulir ke tingkat penuntutan. Namun, akhirnya yang terjadi, atas permintaan Menteri Keuangan, malah dimentahkan lagi oleh Jaksa Agung.
Itu terjadi setelah Paulus membayar tunggakan pajaknya tadi, plus denda empat kali lipat.
Buntutnya, Kejaksaan Tinggi Jakarta mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) untuk Paulus, 27 Januari 2007. Menurut Ani, sapaan akrab Sri Mulyani Indrawati, Departemen Keuangan telah
meneliti betul keputusannya untuk mengajukan penghentian penyidikan kasus itu kepada Kejaksaan Agung. Dasarnya, yang bersangkutan (Paulus) telah memenuhi prosedur pembayaran utang dan denda.
Awalnya, kasus Paulus tidak terkesan istimewa. Adik ipar Eddy Tansil (buron kasus pembobolan Rp 1,3 triliun) ini ditangkap petugas Ditjen Pajak dan kepolisian pada 16 September 2005.
Paulus disangka tak melaporkan penghasilan dari transaksi valas yang dilakukannya. Dana itu diparkir di negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.
Versi lain, Paulus diduga sengaja mengecilkan omset Ramayana, perusahan retail yang dia dirikan. Yang pasti, Paulus disangka dengan sengaja tidak mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak dengan
benar, sehingga negara dirugikan Rp 399 miliar.
Polisi tampak enggan mengupas materi pemeriksaan tersangka. Maklum, kewenangan penyidikan ada pada PPNS Ditjen Pajak. Adapun pihak Ditjen Pajak kala itu tidak bersedia memaparkan detail perkembangan
pemeriksaan.
Kasus itu kemudian rampung disidik di tingkat PPNS, lalu dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Jakarta, 9 November 2005. Penyidikan pun dinyatakan P-21. Nah, di sinilah mulai tercium aroma perlakuan istimewanya.
Tindak lanjutnya seperti mandek. Selama berbulan-bulan, kasus itu belum juga terdengar bergulir ke tingkat penuntutan.
Tahu-tahu, yang terdengar justru kabar bahwa penyidikan terhadap si tersangka pengemplang pajak dihentikan.
Yang tak kalah menarik, dari fotokopian dokumen internal tersebut terungkap pula bahwa pajak yang dikemplang Paulus merosot jadi Rp 7,99 miliar. Belum jelas bagaimana ceritanya angka penggelapan pajak yang semula dituduhkan Rp 399 miliar bisa menciut seperti itu.
0 komentar:
Posting Komentar