• Feed RSS

Pages

0
Hari hari lewat, pelan tapi pasti
Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru
Karena aku akan membuka lembaran baru
Untuk sisa jatah umurku yang baru…

Daun gugur satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Umurku bertambah satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah

Tapi… coba aku tengok kebelakang
Ternyata aku masih banyak berhutang
Ya, berhutang pada diriku…
Karena ibadahku masih pas-pasan…

Kuraba dahiku…
Astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk
Kutimbang keinginanku….
Hmm… masih lebih besar duniawiku

Ya Allah….
Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Masihkah aku diberi kesempatan?

Ya Allah….
Tetes airmataku adalah tanda kelemahanku
Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku
Astagfirullah…

Jika Engkau ijinkan hamba bertemu tahun depan
Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini lebih khusyuk dalam ibadah…
Timbangan dunia dan akhirat hamba seimbang…
Sehingga hamba bisa sempurna sebagai khalifahMu…

Hamba sangat ingin melihat wajahMu di sana…
Hamba sangat ingin melihat senyumMu di sana…
Ya Allah,
Ijikanlah…..
0
Oleh : Prof. Drs. Ismani HP., MA.

Pendahuluan
Setiap masyarakat atau bangsa pasti mempunyai pegangan moral yang menjadi landasan sikap, perilaku dan perbuatan mereka untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dengan pegangan moral itu dibedakan mana yang baik, dan mana yang buruk, benar dan salah serta mana yang dianggap ideal dan tidak. Oleh karena itu dimana pun kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara peranan etika tidak mungkin dikesampingkan Semua warganegara berkepentingan dengan etika.
Secara etimologis istilah etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang artinya kebiasaan, salah satu cabang filsafat yang dibatasi dengan dasar nilal moral menyangkut apa yang diperbolehkan atau tidak, yang baik atau tidak baik, yang pantas atau tidak pantas pada perilaku manusia (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1989:205). Dalam kenyataan kehidupan sosial semua masyarakat mempunyai atuan moral yang membolehkan atau melarang perbuatan tertentu. Tata kelakuan itu harus diikuti oleh anggota masyarakat dan akan menimbulkan hukuman bagi pelanggarnya. Namun bisa sebaiknya yang terjadi apabila perilaku yang dilaksanakan dianggap ideal maka akan mendapat imbalan (reward) yang sesuai. Dengan demikian maka fungsi etika adalah untuk membina kehidupan yang baik berdasarkan nilai-nilai moral tertentu. Kehidupan manusia bersifat multi dimensi meliputi berbagai bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan yang semuanya memerlukan etika termasuk didalamnya kehidupan birokrasi.
Kalau dikaitkan dengan pembangunan maka etika sangat erat fungsinya dan menyatu dengan kegiatan
pembangunan. Apa saja yang dilakukan demi mencapai taraf hidup yang lebih baik, melekat peranan etika. Sistem dan prosedur yang berlaku dalam pembangunan, sarat dengan nilai-nilai moral yang hams dipegang teguh oleh mereka yang teriibat dalam pembangunan. Apa yang kita laksanakan dalam pembangunan pada hakekatnya adalah dari, oleh, dan untuk manusia atau ‘people centered development’.Dalam rumusan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN disebut pembangunan manusia se-utuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Dalam pembangunan yang demikian diusahakan keseimbangan pembangunan fisik materiil dan mental spiritual dan ruang cakupannya meliputi seluruh masyarakat bangsa Indonesia. Uraian berikut mencoba menelusuri jejak birokrasi di Indonesia. memahami nilai-nilai yang terkandung didalamnya dan bagaimana perilaku birokrasi kita dalam menyongsong masa depan.

Makna birokrasi
Kalau kita mendengar konsep birokrasi pada ummnnya lalu membayangkan proses yang berbelit-belit, waktu yang lama, biaya yang banyak dan menimbulkan keluh kesah yang pada akhimya ada anggapan bahwa birokrasi itu tidak efisien dan bahkan tidak adil. Anggapan yang demikian tidak seluruhnya benar walaupun mungkin secara subyektif banyak orang. Oleh karena itu tidak heran kalau banyak terjadi perbedaan pendapat tentang birokrasi bahkan tidak jarang timbul pro-kontra yang berkepanjangan.
Secara obyektif sebenamya harus diakui bahwa birokrasi juga mempunyai ciri-ciri ideal dipandang dari aspek formalnya, Kalau dalam kenyataan praktek kerja ciri-ciri ideal itu luntur dan berubah menjadi sesuatu yang buruk dan merugikan berarti memerlukan modifikasi serta perubahan dan pengembangan. Menurut Weber (Dalam Albrow, 1989:33) secara rasional birokrasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan mereka. Ada hirarki jabatan yang jelas. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara jelas. Para pelabat diangkat berdasarkan suatu kontrak. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya berdasarkan suatu diploma (ijasah) yang diperoleh melalui ujian. Mereka memiliki gaji dan biasanya ada hak-hak pensiun, gaji berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya dan dalam keadaan-keadaan tertentu ia dapat diberhentikan.
Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya. Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan keunggulan (superior). Pejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di posnya tersebut. la tunduk pada sistem disiplin dan kontrol seragam. Apabila tipe ideal birokrasi dengan sepuluh ciri tersebut dapat terlaksana dengan baik maka dampaknya akan positif dalam kehidupan organisasi maupun dalam masyarakat dan negara. Namun dalam prakteknya, tipe ideal birokrasi itu meleset jauh ke arah yang berlawanan dan negatif.
Oleh karena itu Blau dan Meyer lebih melihat birokrasi dari sisi gelapnya yaitu adanya kekakuan (inflexibility) dan kemandegan struktural (structural static). Tata cara yang berlebihan (ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat yang tidak pribadi (impersonality) dan pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan menutup diri terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent).
Mouzelis (1974:4) mengemukakan birokrasi sebagal “the existence of a system of Control based on rational rules, rules with try to regulated the whole organizational structure and process on the based of tedinical knowledge and the maximun efficiency”.
Serupa tetapi tidak sama dengan Weber, Mouzelis mengemukakan bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan proses berdasar pengetahuan teknis dan dengan efisiensi yang setinggi-tingginya. Dari pandangan yang demikian tidak sedikitpun alasan untuk menganggap birokrasi itu jelek dan tidak efisien. Tetapi dalam praktek yang sesungguhnya jauh panggang dari api. Jarak apa yang terjadi (das sein) dan apa yang diinginkan (das sollen) masih terlalu jauh. Oleh karena itu dalam pengurusan berbagai kepentingan yang berkaitan dengan organisasi seringkali mengenyampingkan birokrasi dan lebih senang menempuh prosedur yang dianggap menguntungkan
Demikian juga Palombara (1971), dan Seitzt (1978) dalam pemyataannya tersurat dan tersirat bahwa birokrasi itu harus dibuang jauh. Namun mereka juga menyadari apa yang ditentukan dalam birokrasi belum seluruhnya dapat dicapai. Sebagaimana konsep-konsep yang lain dalam penerapannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan situasi dan kondisi yang didalamnya terdapat unsur-unsur etika yang harus diperhatikan.
Satu hal pasti bahwa birokrasi merupakan fenomena yang sudah ada sejak dulu kala manusia ingin mencapai tujuan
Etika Birokrasi (Ismam HP)
bersama dalam berbagai wadah organisasi. Bahkan Blau dan Meyer menyatakan bahwa birokrasi merupakan organisasi-organisasi yang didirikan secara resmi yang dibentuk untuk memaksimumkan efisiensi administrasi.
Apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintahan dan pembangunan maka birokrasi berkenaan dengan kelembagaan, aparat dan sistem serta prosedur dalam kegiatan yang dilaksanakan demi kepentingan umum atau kepentingan masyarakat Dalam makna birokrasi yang demikian itu Yahya Muhaimin (1991) mengemukakan birokrasi sebagai keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer yang tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.
Dalam kesempatan ini sesuai dengan tema dan judul makalah maka fokus uraian diarahkan pada keterikatan aparat pemerintah baik sipil maupun militer terhadap etika birokrasi. Mereka seharusnya mempunyai pedoman dan penuntun dalam sikap, perilaku dan perbuatan secara jelas dan rinci, sehingga birokrasi menjadi bersih, dinamis dan bertanggungjawab. Dalam hal ini tidak cukup hanya tanggung jawab yuridis formal tetapi juga tanggungjawab moral. Sebagai konsekuensi logis dari tanggung jawab yang demikian itu etika birokrasi mempunyai peran yang strategis dalam pemerintahan dan pembangunan sehingga cita-cita bangsa dapat diusahakan tercapai dengan cara yang benar dan baik

Landasan birokrasi
Semua nonmatip dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan harus berlandaskan secara idiil Pancasila, konstitusional UUD 1945 dan operasional Garis-Garis Besar Haluan Negara. Landasan yang demikian menjadi kesepakatan nasional yang tidak bisa diganggu-gugat. Masalahnya adalah apakah aparat birokrasi kita tetap berada pada landasan yang demikian dalam kegiatannya (on the right track) ? Dalam kenyataan sering terjadi aparat birokrasi keluar dari landasan dengan berbagai
motivasi. Gejala-gejala dan fakta kolusi dan korupsi menjadi semakin marak yang menjadi indikator bobroknya birokrasi.
Landasan idiil Pancasila menimbul-kan cita-cita yang ideal dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Cita-cita ini dikonsepsikan dan disistimatisir menjadi suatu faham / ideologi. Kemudian dikembangkan dan diajarkan melalui berbagai metode sebagai doktrin bagi semua penyelenggara negara atau aparat birokrasi dan warga negara. Kristalisasi dari ajaran-ajaran itu menjadi asas-asas (Principles) yang dijadikan pedoman dan pegangan hidup. Dalam penerapannya secara terus menerus dan konsekuen menimbulkan tradisi atau kebiasaan yang menjelma menjadi cara hidup atau way of life dalam penyelenggaraan kegiatan mencapai tujuan atau cita-cita.
Dalam way of life demikian terdapat sistem nilai (value system), kepentingan (interest), dan sikap tertentu (attitude). Namun demikian perlu didasari bahwa unsur-unsur way of life yang demikian perlu disosialisasikan sehingga dari waktu ke waktu nampak kemanfaatannya dalam kehidupan, khususnya bagi aparat birokrasi. Dengan kata lain dinamika pemerintahan dan pembangunan harus selalu mengacu kepada butir-butir Pancasila sebagai penuntun sikap dan perilaku para penyelenggara negara dan seluruh warga negara. Untuk itu aparat birokrasi dalam proses kegiatannya harusnya mampu menciptakan strategi untuk menentukan garis-garis besar tindakan (courses of action). Disamping dan bersama-sama dengan itu selalu diperhatikan mengenai tujuan dan sasaran (goal and objective), lingkungan (environment), tantangan-tantangan yang dihadapi (challenges), sumberdaya yang dimiliki (resources) dan juga tahap-tahap waktu yang diperlukan (time framework).
Dengan demikian maka kebijaksanaan
- kebijaksanaan birokrasi, baik yang bersifat administratif maupun operasional selalu mengacu pada landasan idiil (Pancasila). Selanjutnya tujuan, tugas pokok dan fungsionalisasi lembaga-lembaga birokrasi masing-masing mencerminkan penerapan Pancasila secara murni dan konsekuen sebagaimana diikrarkan oleh Orde Baru.
Kemudian landasan konstitusional UUD 1945 yang dilaksanakan secara mumi dan konsekuen berarti asas legalitas yang digunakan oleh aparat birokrasi selalu mengacu kepada “batang-tubuh” UUD 1945. Dalam praktek ketatanegaraan semua aturan perundang-undangan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu lembaga-lembaga birokrasi yang ada, dalam kegiatannya bersifat konstitusional atau mentaati asas legalitas. Apabila dalam sikap, perilaku dan perbuatan aparat birokrasi tidak mengingat lagi asas legalitas yang demikian maka apa yaiig dilaksanakan dalam pemerintahan dan pembangunan bersifat “inconstitutional dan sudah tentu tidak memperhatikan etika birokrasi. Bahkan dapat menimbulkan despotisme yang pada akhimya mengorbankan kehidupan negara dan bangsa.
Kemudian landasan operasional yang dilaksanakan dalam pembangunan berupa GBHN yang disusun melalui mekanisme lima tahunan mengikuti dinamika masyarakat dengan tuntatan dan harapannya yang selalu meningkat. Trilogi pembangunan yang tercantum di dalamnya yaitu :
− Pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya yang menuju
pada terciptanya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat
− Pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi
− Stabilitas nasional yang sehat
dan dinamis.
Ketiga tumpuan pembangunan itu mempunyai peran yang sama-sama penting dan saling mempengaruhi satu sama lain. Namun dalam kenyataan kadang-kadang yang satu dianggap lebih penting daripada yang lain. Fenomena demikian kebanyakan muncul dari aparat birokrasi baik sipil maupun militer. Kalau stabilitas nasional ditonjolkan melebihi yang lain maka pendekatan keamanan (security approach) menjadi berlebihan sedangkan pemerataan dan keadilan serta demokrasi tertinggal jauh.
Memang dengan stabilitas yang sehat dan dinamis, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi namun diimbangi dengan pemerataan dan keadilan secara memadai. Dalam keadaan demikian aspek etika dalam birokrasi pembangunan menjadi “crucial point” yang harus diperhatikan.
Kemudian pertanyaannya seberapa jauh etika agama dalam birokrasi. Etika atau moral atau akhlak dalam arti agama ialah suatu daya yang positif dan aktif yang diperolehnya untuk mengalihkan situasi batinnya (Mukti Ah, 1969: 8). Agama bukan hanya memberikan dasar dan sanksi saja terhadap moral tetapi menjadi landasan dan penuntun berbagai macam latihan rohani dan jasmani supaya para pemeluk agama setapak demi setapak menjadi orang yang bermoral tinggi. Apabila orang tersebut menjadi aparat birokrasi maka iman dan taqwanya akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya.
Dalam kehidupan birokrasi dimensi religius berada diatas landasan idiil. konstistusional dan operasional. Ini berarti agama mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dari semuanya itu. Di negara-negara modern pun pada umumnya ajaran-ajaran agama termasuk kedalam kehidupan bernegara. Demikian juga dalam UUD 1945 yang dalam pembukaan alenea ketiga sudah mencantumkan aspek religius yaitu “berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa ……”
Demikian juga dalam Pasal 29 UUD 1945 dinyatakan:
1 Negara berdasar atas KeTuhanan Yang MahaEsa.
2 Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Oleh karena itu ajaran-ajaran agama yang diterima para pemeluknya menjadi landasan moral yang tinggi dan menjamin kehidupan yang baik duniawi dan ukhrowi. Dimensi religius yang demikian itu seharusnya menggejala dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Apabila aparat birokrasi bermoral tinggi sesuai dengan agamanya maka mustahil terjadi penyelewengan yang merugikan semua pihak.

Birokrasi Patrimonial
Di negara-negara berkembang pada umumnya tipe ideal birokrasi tampak tidak sepenuhnya dapat dicapai bahkan tidak jarang jauh bedanya antara harapan dan kenyataan. Pemerintah dan pembangunan yang bersih, dinamis dan bertanggungjawab masih sangat sulit diwujudkan. Bahkan tidak jarang yang terjadi adalah sebaliknya yaitu timbulnya kolusi dan korupsi yang dibarengi dengan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Keadaan demikian merupakan penyakit birokrasi tetapi anehnya justru birokrasinya yang sering dijadikan “kambing hitam”.
Sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia sekarang tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masmg tahap tersebut membawa corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan. Kepatuhan harus diwujudkan dengan melaksanakan segala peraturan dan perintah kerajaan dan tidak untuk mempertimbangkan untung rugi dan dampaknya. Sikap atau perilaku yang demikian dibarengi dengan timbulnya perasaan dan kepercayaan rakyat bahwa pihak kerajaan akan melindungi para kawula dari segala macam gangguan dan ancaman. Timbullah hubungan ketergantungan pelindung dan yang dilindungi. Hubungan demikian dikategorikan sebagai “patron-client relationship” (James C. Scott, 1972:27). Dalam birokrasi timbul hubungan “bapak-anak buah” secara khusus sebagaimana
berlaku di Indonesia setelah kemerdekaan (Ismani, 1992:171).
Demikian juga “patrimonial of leadership” (Stogdill, 1974:328) timbul dalam kondisi yang demikian. Didalamnya terdapat “traditional authority” dimana kepatuhan dan kesetiaan terhadap pemimpin karena ditopang oleh kewenangan yang bersumber pada tradisi. Birokrasi dalam kerajaan-kerajaan khususnya di Jawa atau birokrasi patrimonial dalam banyak hal masih terasa sampai kini.
Pada jaman kolonial kedaaan birokrasi kerajaan yang demikian itu tidak mengalami perubahan yang berarti tetapi justru dimanfaatkan dan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga lebih efisien demi kepentingan penjajah. Dibuat peratuan-peraturan yang memaksa dan dalam pelaksanaannya memperalat elit pribumi (para bangsawan) dengan keuntungan sebesar-besamya. Pembentukan elit birokrasi yang demikian itu sangat menonjol di Jawa (Sutherland, 1972). Oleh karena itu birokrasi patrimonial yang berakar pada budaya Jawa tidak diubah tetapi ditambah bebannya oleh penjajah.
Kemudian setelah Indonesia merdeka sampai dengan runtuhnya Orde Lama birokrasi patrimonial masih tetap melekat erat pada pemerintahan dan pembangunan. Pengaruh feodalisme dan kolonialisme masih terus berlanjut dan pola hubungan “patron-client ” menjadi referensi utama dalam birokrasi. Dalam Orde Lama orientasi keatas sangat kuat dan menentukan semua “Bapak” harus dihormati, ditaati dan pantang ditentang. Berbeda pendapatpun sebaiknya jangan. Oleh karena itu pada jaman Orde lama sang pemimpin atau birokrat menjadi tumpuan segala-galanya. Benih-benih tirani hidup subur dan puncak penyelewengannya menimbulkan segala macam kesengsaraan yang mendorong lahimya Orde Baru.
Babak baru dalam pemerintahan dan pembangunan dimulai dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun demikian corak “birokrasi patrimonial” masih tetap menjadi warna yang dominan (Liddle, 1977; Robinson, 198 1; Hein, 1982; Muhaimin, 1982). Menurut Hein hubungan “Bapak-Anak buah” mempengaruhi hampir setiap segi penting kehidupan politik di Indonesia (termasuk strategi pembangunan ekonomi-penulis). Sedangkan Liddle mengemukakan bahwa regim Orde Baru bersandar pada jaringan pribadi antara patron-client dan pendukungnya.
Adanya patrionalisme dalam birokrasi merupakan peninggalan sejarah politik dan ekonomi di Indonesia yang sampai sekarang tidak lekang panas dan tidak lapuk karena hujan. Hanya penerapannya yang berbeda sesuai dengan jamannya, prinsip dasarnya tetap sama. “Bagaimanapun juga munculnya birokrasi patrimonial dalam sistem administrasi negara dan sistem politik tidak dikarenakan masih kuatnya ikatan kultur tradisional yang paternalistik.” (Miftah Thoha, 1991:45). Masalahnya adalah bagaimana kita mampu memanfaatkannya dalam birokrasi pembangunan dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkannya.

Sikap Mental dan Etos Kerja Di Kalangan Birokrasi
Sikap mental selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang menjadi landasan etos kerja. Sedangkan nilai-nilai yang dianut berasal dari berbagai sumber antara lain agama, filsafat dan kebudayaan yang diamit oleh suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Nilai-nilai mana yang lebih dominan untuk menimbulkan etos kerja yang tinggi sangat ditentukan oleh proses adopsi dan adaptasi serta pengahayatannya. Sikap mental yang positif dan ideal sangat diperlukan sebagai aparat birokrasi.
Myrdal (1968) mengajukan tiga belas ciri-ciri sikap mental yang seharusnya dimiliki bangsa-bangsa Asia kalau mau berhasil dalam pembangunan yaitu: efisiensi, kerajinan, kerapian, tepat waktu, mengikuti rasio dalam mengambil keputusan dan tindakan, kesediaan untuk berubah, kegesitan dalam mempergunakan kesempatan yang muncul, bekerja sama energetis, bersandar pada kekuatan sendiri, mau kerjasama dan kesediaan untuk memandang jauh ke depan. Sikap mental yang demikian memang baik dan berguna di kalangan birokrasi dan sekaligus menumbuhkan etos kerja modern yang menuju pada efektifitas dan efisiensi yang optimal. Namun masih perlu ditambah sikap dan taqwa serta penguasaan ilmu dan teknologi.
Pertanyaannya adalah bagaimana sikap mental aparat birokrasi kita? Berbagai jawaban dengan bermacam argumen dapat dikemukakan namun satu hal yang pasti bahwa sikap mental aparat birokrasi sebagian besar masih belum sesuai dengan tuntutan pembangunan. Masih nampak gejala-gejala sikap mental yang negatif antara lain kurang bertanggungjawab, suka mencari jalan pintas, mengabaikan mutu, bergaya hidup yang memiru-niru budaya Barat. Sikap-sikap yang demikian menimbulkan etos kerja yang rendah dan produktifitas kerja rendah pula baik kuantitas maupun kualitasnya.
Di kalangan pegawai negeri atau aparat birokrasi masih dominan mentalitas “priyayi” yang tidak sesuai dengan fungsinya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Mereka pada umumnya bekerja untuk mengejar pangkat dan jabatan serta kedudukan dan simbol-simbol prestise tertentu. Oleh karena itu bagi mereka prestasi tidak diutamakan bahkan tidak sedikit yang menganggap prestasi bukan kebutuhan. Sehingga “need for achievement’” sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc Clelland (1977) masih rendah.
Di samping itu mentalitas lain yang masih cukup menonjol adalah sikap konservatif dan tidak mampu memandang jauh ke depan. Timbul perasaan yang selalu tidak puas (ngresulo), tidak kreatif, kurang inisiatif, mudah mencela orang dan sebagainya.
Orientasi vertikal aparat birokrasi juga masih sangat kuat. Mereka memandang para pemimpin atau atasan harus dipatuhi dan dihormati. Dampaknya yang segera kelihatan adalah sikap menunggu perintah dan juga restu sang pemimpin. Sikap mental demikian tidak hanya berlaku dikalangan “priyayi” Jawa tetapi sudah melanda mereka yang bukan Jawa. Mentalitas “priyayi” tersebut banyak disebabkan oleh pengaruh Kolonialisme dan feodalisme dan pada umunmya menimpa kalangan elit birokrasi bukan pegawai kecil.
Masalah rendahnya etos kerja di kalangan birokrasi rupa-rupanya bukan masalah “orang kecil” atau pegawai rendahan tetapi lebih merajalela di kalangan elit birokrasi. Bagi pegawai rendahan asal mereka dihargai sebagai manusia dengan nilai-nilai, pandangan-pandangan dan kebutuhan-kebutuhannya, mereka dengan sendirinya akan bekerja dengan rajin, teliti, setia dan inovatif. Yang mengkorupsikan kualitas moral manusia ialah struktur-stuktur kekuasaan yang eksploitatif dimana orang hanya maju asal “ikut main”. Yang kita butuhkan adalah etos tanggung jawab dari kalangan elit birokrasi, suatu etos kerendahan hati dan tahu diri agar bisa menghormati setiap insan otonomi dalam masyarakat termasuk didalamnya “orang kecil” dan merasa selalu terhadap perbedaan-perbedaan sosial yang sedemikian mencolok. (Franz von Magnis, 1978).
Banyak kalangan elit birokrasi yang ingin tampil beda dengan berbagai fasilitas glamour yang sebenamya tidak sesuai dengan penghasilannya sebagai pegawai negeri. Bagi mereka yang demikian itu sudah pasti etos kerja dan disiplinnya rendah. Kesetiaan dan kepatuhan pada profesinya pantas diragukan dan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat ditelantarkan Oleh karena itu usaha meningkatkan disiplin dan etos kerja di kalangan birokrasi perlu diintensifkan di tingkat atas karena mereka menjadi panutan bagi kalangan bawah.
Etos kerja, disiplin dan motivasi tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam menngkatkan produktifitas kerja. Masalahnya saling terkait dan menjadi perhatian utama dalam pembangunan
sumberdaya manusia. Apabila etos kerja rendah disiplin kerja merosot, motivasi dan produktifitas kerja berkurang.
Disiplin merupakan suatu sikap yang menunjukkan kesediaan untuk menepati atau mematuhi dan mendukung ketentuan, tata tertib, peraturan, nilai serta kaidah yang berlaku. Sikap yang demikian tidak dibawa oleh seseorang sejak lahir tetapi ditentukan oleh keberhasilan pendidikan dan pelatihan, serta pengalaman-pengalaman yang diperoleh.
Di kalangan birokrasi pemerintah banyak menunjukkan kurangnya disiplin kerja. Ada kecenderugan pelanggaran peraturan serta nilai-nilai dan kode etik, juga lemahnya tanggung jawab. Motivasi mereka untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, dinamis dan bertanggung jawab, kurang memadai. Produktifitasnya relatif tetap atau seperti berjalan kaki ditempat. Bahkan dalam bidang-bidang tertentu malahan merosot. Praktek-praktek kolusi dan korupsi serta penyelewengan masih cukup menggejala sehingga merupakan “red-tape” birokrasi. Oleh karena itu gerakan disiplin nasional seyogyanya ditanamkan lebih intensif di kalangan birokrasi. Bagaimanapun juga sikap, perilaku dan perbuatan aparat birokrasi akan menjadi acuan disiplin masyarakat pada umumnya.
Konsekuensi logisnya Pemerintah harus berlaku adil memberi imbalan yang sesuai (reward) bagi mereka yang penuh disiplin dan berprestasi Sebaiknya memberikan hukuman (punishment) terhadap mereka yang melanggar dan menyeleweng. Di kalangan aparat birokrasi dapat juga timbul “disiplin semu” artinya seolah-olah timbul suasana disiplin tetapi hanya saat tertentu dimana pengawasan yang ketat sedang berjalan. Kepatuhan dan kesetiaan mereka palsu sehingga merugikan pemanfaatan sumberdaya manusia dan produktifitasnya rendah. Motivasinya juga rendah karena tidak didorong oleh kehendak yang murni tetapi karena rasa takut.
Apabila orang mempunyai motivasi maka ia akan mempunyai keinginan untuk mencapainya, Dalam kehidupan birokrasi

sering dijumpai orang-orang yang selalu mengembangkan keinginan, tuntutan dan harapan sehingga sulit untuk merasa puas. Tetapi tidak sedikit pula orang yang cepat merasa puas sehingga sulit untuk berkembang lagi. Keinginan yang timbul dari dalam diri manusia memmbulkan dorongan dan semangat atau motivasi hakiki (intrinsic) dan motivasi yang tumbuh dari luar atau pihak lain merupakan motivasi ekstrinsic. Dalam meningkatkan etos kerja di kalangan birokrasi dua model motivasi itu sangat diperlukan sehingga dedikasinya meningkat dan produktifitasnya berkembang dan dengan demikian etika birokrasi dalam pemerintahan dan pembangunan berjalan baik.
Penerapan Kekuasaan Dalam Birokrasi
Sistem pemerintahan Negara Indonesia atau Birokrasi Pemerintah sebagaimana dirumuskan dalam Penjelasan UUD 1945 merupakan pedoman dasar dan kerangka mekanisme bagi penyelenggaraan sistem administrasi negara Indonesia. Dalam sistem pemerintahan negara itu antara lain telah ditetapkan berbagai perangkat Pemerintahan yang berupa lembaga-lembaga negara / lembaga birokrasi dengan tugas, wewenang dan kewajiban masing-masing serta mekanisme hubungan kerja antar lembaga negara dalam rangka menjalankan tugas negara untuk mencapai tujuan nasional atau cita-cita bangsa. Dalam kaitan inilah maka sistem administrasi negara atau sistem birokrasi pemerintahan diselenggarakan dan dikembangkan untuk melaksanakan tugas negara. Dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana dirumuskan dalam Penjelasan UUD 1945 terdapat tujuh kunci pokok sebagai berikut:
I. Indonesia ialah negara berdasarkan atas hukum (rechstaat) Indonesia ialah negara berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat).
II. Sistem konstitusional
Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
III. Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
IV. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan Negara yang tertinggi di bawah Majelis.
V. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

VI. Menteri Negara ialah pembantu Presiden. Menteri Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
VII. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Tujuh kunci pokok tersebut seharusnya dipahami secara bulat dan diterapkan sepenuhnya sehingga masing-masing lembaga birokrasi menyadari dan membatasi diri pada kewenangannya. Demikian juga hubungan antar lembaga juga terdapat rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar sehingga timbul kerjasama yang harmonis.
Dalam implementasi tujuh kunci pokok tersebut terdapat lembaga-lembaga birokrasi pemerintah yang secara struktural bersifat vertikal dan horisontal. Struktur organisasi yang merupakan kerangka yang menunjukkan hubungan antar satuan kerja serta tugas, wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing merupakan landasan mekanisme kerja. Oleh karena itu pendekatan “structural functionalism” mau atau tidak mau seharusnya dipakai untuk memahami penerapan etika kekuasaan dalam birokrasi.
Melalui struktur dan fungsi itulah dapat dilihat adanya hubungan kesejajaran dan kewajaran antar instansi sehingga tidak menimbulkan perasaan bahwa pihaknya yang terpenting. Gejala “self Centered” muncul dalam birokrasi bukan karena sistem birokrasinya tetapi lebih banyak disebabkan oleh aparat birokrasi. Pelanggaran etika birokrasi yang demikian menjalar dari atas ke bawah dan menimbulkan “arrogance of power” atau kecongkakan kekuasaan. Dampak negatifnya antara lain menimbulkan rasa kecewa bagi pihak lain, frustrasi, stress dan lebih lanjut kepercayaan pada para elit birokrasi (pemimpin) merosot dan akhimya dapat kehilangan kekuasaan.
Penyalahgunaan kekuasaan juga dapat menyebabkan melunturnya “power” pejabat atau aparat birokrasi. Dalam hal ini yang dmaksud penyalahgunaan kekuasaan adalah “semua tindakan penguasa, baik yang positif (Belanda: doen) maupun yang negatif (Belanda: nietdoen, nalaten) yang menyebabkan seseorang atau suatu badan hukum atau masyarakat mengalami kerugian lahir dan batin (Yap Thiam Hien, 1973). Dalam “perbuatan’ atau “tindakan” ini termasuk pula tindak perbuatannya, kelalaiannya untuk melakukan sesuatu yang wajib dilakukannya yang bisa merugikan penduduk atau orang-orang yang dipimpin.
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan aparat birokrasi atau para pejabat antara lain: −Tidak ada atau kurangnya perumusan serta rincian yang tegas dan jelas tentang kekuasaan dan wewenang serta kewajiban
dan tanggungjawab. −Berlakunya sistem yang tidak atau terbuka dalam merumuskan kebijakan-kebijakan (policies) dalam manajemen. −Komunikasi yang kurang lancar atau macet. −Tindakan yang kurang tegas terhadap penyimpangan dan penyelewengan.
Untuk mencegah dan menghindari dan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan yang demikian diperlukan keterbukaan dalam organisasi dan manajemen sehingga tidak menimbulkan “powerless” bagi pemimpin dan tidak timbul “voiceless”‘ bagi yang dipimpm. Landasannya adalah demi “public interest” dan bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Para birokrat yang dengan berbagai cara mendapatkan kedudukan tertentu itu berdasarkan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang mempunyai “legitimate power”. Tetapi belum tentu dia mampu menggunakan kekuasaannya secara benar dan baik, efektif dan efisien. Mungkin saja Surat Keputusan itu diperoleh tidak berdasarkan kecakapan dan kemampuan serta kepakarannya tetapi semata-mata ada “hubungan tertentu” dengan pejabat yang mengangkatnya. Orang yang demikian akan merusak citra birokrasi dan pasti pola perilakunya tidak memperhatikan etika birokrasi. Oleh karena itu etika mempunyai peranan strategis yang harus diperhatikan dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Nilai-nilai moral diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan politik ekonomi, kebudayaan, pertahanan dan keamanan. −Birokrasi berada dimana saja dan kapan saja (existence) baik intra maupun antar lembaga dengan perangkat, sistem dan prosedur kegiatannya. Tipe ideal birokrasi tidak sepenuhnya dapat diwujudkan namun bukan berarti birokrasi itu tidak penting. Aspek negatif atau “red-tape” birokrasi seringkali muncul karena perilaku yang tidak etis dari aparat birokrasi, bukan karena sistem birokrasinya.
− Etika berasal dari agama, filsafat dan kebudayaan. Ketiganya tidak saling
− bertentangan tetapi saling melengkapi dan secara komprehensif saling menunjang. Oleh karena pelaksanaan dan pembinaannya untuk para birokrat dilakukan terus menerus dan berkesinambungan.
− Model birokrasi patrimonial masih nampak menggejala di Indonesia dengan segala dampaknya. Dalam hal tertentu nampak positif tetapi tidak jarang pula dampak negatifhya. Model hubungan “Bapak -Anak Buah” dalam kepemimpinan (patrimonial form of leadership) sangat memerlukan etika sehingga “tidak asal bapak senang” tetapi merugikan kepentingan umum. Dimensi-dimensi religius perlu lebih ditonjolkan dalam birokrasi sehingga menyentuh peningkatan iman dan taqwa para birokrat. Keseimbangan kehidupan duniawi dan ukhrowi masih belum sepenuhnya menggejala. Para
birokrat pada umumnya lebih mementingkan kepentingan materi yang kelihatan dari penampilannya.
− Dalam proses birokrasi masih sangat kelihatan jalan pintas yang dilalui demi kepentingan tertentu walaupun melanggar etika. Prestasi belum menjadi orientasi utama para birokrat tetapi prestise yang ditopang oleh simbol-simbol tertentu lebih ditonjolkan.
− Gejala-gejala penyalahgunaan kekuasaan dan kecongkakan kekuasaan muncul di kalangan para birokrat. Sadar atau tidak mereka merusak citra birokrasi, memerosotkan peradaban dan melecehkan etika. Mereka harus kembali kepangkal jalan kearah pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya.

DAFTAR PUSTAKA

Albrow, Birokrasi Alihbahasa M. Rusli Karim dan Totok Daryanto, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989.
Barnard, Chester I., The Function of Executive Harvard University Press, Cambridge-Massachusets, 1971.
Bryant, Corale dan White, Louise G., Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang Penerjemah Rusyanto L., LP3ES, Jakarta, 1987.
Blau, Peter M. dan Meyer, Marshal W., Birokrasi Dalam Masyarakat Modern Ul Press,
ANALISA, CSIS, Jakarta, 1991.
Ihsan Ali-Fauzi, “Nilai-nilai Asia Versus Nilai-nilai Barat Yang Diagungkan Dan Dijadikan Dalih?”, Dalam Harian REPUBLIKA. Tanggal31Desember 1995.
Ismani, “Hubungan Patron-Client
Koentjaraningrat, Rintangan-Rintangan Mental Dalam Pembangunan Ekonomi, Bhratara. Jakarta, 1969
Kebudavaan Mentalitet Dan Pembangunan PT. Gramedia, Jakarta, 1978.
Miftah Thoha, Beberapa Kebijaksanaan Birokrasi, PT. Widya Mandala, Yogyakarta, 1991.
Mc Clelland, David C., “Dorongan Hati Menuju Modernisasi”, Dalam Myron Weyner, Modernisasi____Dinamika Pertumbuhan. Gajahmada University Press, Yogyakarta, 1977.
Oetojo Oesman dan Alfian (penyunting), Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, BP7 Pusat, Jakrta, 1991.
Priyo Budi Santoso, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Rajawali Press, Jakarta, 1983.
Riggs, Fred W., Administrasi Pembangunan : Sistem Administrasi Dan Birokrasi, Diterjemahkan oleh Luqman Hakim, Rajawali Press, Jakarta, 1989.
Rosantini, “Etos Kebudayaan’ Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989.
Scoot, James C., “Patron-Client And Political Change In Southeast Asia”, Dalam American Political Review, No. 1, 1972.
Wiratmo Soekito, “Etos Sosial Suatu Refleksi”, Dalam PRISMA, No. 1, Desember, 1978.
Yap Thiam Hien, “Masalah Hukum Dan Penyalahgunaan Kekuasaan’, Dalam PRISMA Nopember, 1973.
GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA, Ketetapan MPR No. II /MPR/1993, BP-7 Pusat, Jakarta, 1994.
Stogdill, Ralph M., Handbook of Leadership. A Survey of Theory And Research The Free Press, A Division of Mac Millan Pubhshing Co., Inc., New York, 1974.
Sutherland, Heather, The Making Bureaucratic Elite. The Colonial
Transformation of Javanese Priyayi, Heineman Education Books, Singapore, 1972.
Stanislav Andreski, Max Weber: Kapitalisme Birokrasi Dan Agama. Alih bahasa Hartomo H., PT. Tiara Wacana, Yogya, 198
0
Oleh : Prof. Drs. Ismani HP., MA.
Pendahuluan
Setiap masyarakat atau bangsa pasti mempunyai pegangan moral yang menjadi landasan sikap, perilaku dan perbuatan mereka untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dengan pegangan moral itu dibedakan mana yang baik, dan mana yang buruk, benar dan salah serta mana yang dianggap ideal dan tidak. Oleh karena itu dimana pun kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara peranan etika tidak mungkin dikesampingkan Semua warganegara berkepentingan dengan etika.
Secara etimologis istilah etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang artinya kebiasaan, salah satu cabang filsafat yang dibatasi dengan dasar nilal moral menyangkut apa yang diperbolehkan atau tidak, yang baik atau tidak baik, yang pantas atau tidak pantas pada perilaku manusia (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1989:205). Dalam kenyataan kehidupan sosial semua masyarakat mempunyai atuan moral yang membolehkan atau melarang perbuatan tertentu. Tata kelakuan itu harus diikuti oleh anggota masyarakat dan akan menimbulkan hukuman bagi pelanggarnya. Namun bisa sebaiknya yang terjadi apabila perilaku yang dilaksanakan dianggap ideal maka akan mendapat imbalan (reward) yang sesuai. Dengan demikian maka fungsi etika adalah untuk membina kehidupan yang baik berdasarkan nilai-nilai moral tertentu. Kehidupan manusia bersifat multi dimensi meliputi berbagai bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan yang semuanya memerlukan etika termasuk didalamnya kehidupan birokrasi.
Kalau dikaitkan dengan pembangunan maka etika sangat erat fungsinya dan menyatu dengan kegiatan
pembangunan. Apa saja yang dilakukan demi mencapai taraf hidup yang lebih baik, melekat peranan etika. Sistem dan prosedur yang berlaku dalam pembangunan, sarat dengan nilai-nilai moral yang hams dipegang teguh oleh mereka yang teriibat dalam pembangunan. Apa yang kita laksanakan dalam pembangunan pada hakekatnya adalah dari, oleh, dan untuk manusia atau ‘people centered development’.Dalam rumusan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN disebut pembangunan manusia se-utuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Dalam pembangunan yang demikian diusahakan keseimbangan pembangunan fisik materiil dan mental spiritual dan ruang cakupannya meliputi seluruh masyarakat bangsa Indonesia. Uraian berikut mencoba menelusuri jejak birokrasi di Indonesia. memahami nilai-nilai yang terkandung didalamnya dan bagaimana perilaku birokrasi kita dalam menyongsong masa depan.

Makna birokrasi
Kalau kita mendengar konsep birokrasi pada ummnnya lalu membayangkan proses yang berbelit-belit, waktu yang lama, biaya yang banyak dan menimbulkan keluh kesah yang pada akhimya ada anggapan bahwa birokrasi itu tidak efisien dan bahkan tidak adil. Anggapan yang demikian tidak seluruhnya benar walaupun mungkin secara subyektif banyak orang. Oleh karena itu tidak heran kalau banyak terjadi perbedaan pendapat tentang birokrasi bahkan tidak jarang timbul pro-kontra yang berkepanjangan.
Secara obyektif sebenamya harus diakui bahwa birokrasi juga mempunyai ciri-ciri ideal dipandang dari aspek formalnya, Kalau dalam kenyataan praktek kerja ciri-ciri ideal itu luntur dan berubah menjadi sesuatu yang buruk dan merugikan berarti memerlukan modifikasi serta perubahan dan pengembangan. Menurut Weber (Dalam Albrow, 1989:33) secara rasional birokrasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan mereka. Ada hirarki jabatan yang jelas. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara jelas. Para pelabat diangkat berdasarkan suatu kontrak. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya berdasarkan suatu diploma (ijasah) yang diperoleh melalui ujian. Mereka memiliki gaji dan biasanya ada hak-hak pensiun, gaji berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya dan dalam keadaan-keadaan tertentu ia dapat diberhentikan.
Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya. Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan keunggulan (superior). Pejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di posnya tersebut. la tunduk pada sistem disiplin dan kontrol seragam. Apabila tipe ideal birokrasi dengan sepuluh ciri tersebut dapat terlaksana dengan baik maka dampaknya akan positif dalam kehidupan organisasi maupun dalam masyarakat dan negara. Namun dalam prakteknya, tipe ideal birokrasi itu meleset jauh ke arah yang berlawanan dan negatif.
Oleh karena itu Blau dan Meyer lebih melihat birokrasi dari sisi gelapnya yaitu adanya kekakuan (inflexibility) dan kemandegan struktural (structural static). Tata cara yang berlebihan (ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat yang tidak pribadi (impersonality) dan pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan menutup diri terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent).
Mouzelis (1974:4) mengemukakan birokrasi sebagal “the existence of a system of Control based on rational rules, rules with try to regulated the whole organizational structure and process on the based of tedinical knowledge and the maximun efficiency”.
Serupa tetapi tidak sama dengan Weber, Mouzelis mengemukakan bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan proses berdasar pengetahuan teknis dan dengan efisiensi yang setinggi-tingginya. Dari pandangan yang demikian tidak sedikitpun alasan untuk menganggap birokrasi itu jelek dan tidak efisien. Tetapi dalam praktek yang sesungguhnya jauh panggang dari api. Jarak apa yang terjadi (das sein) dan apa yang diinginkan (das sollen) masih terlalu jauh. Oleh karena itu dalam pengurusan berbagai kepentingan yang berkaitan dengan organisasi seringkali mengenyampingkan birokrasi dan lebih senang menempuh prosedur yang dianggap menguntungkan
Demikian juga Palombara (1971), dan Seitzt (1978) dalam pemyataannya tersurat dan tersirat bahwa birokrasi itu harus dibuang jauh. Namun mereka juga menyadari apa yang ditentukan dalam birokrasi belum seluruhnya dapat dicapai. Sebagaimana konsep-konsep yang lain dalam penerapannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan situasi dan kondisi yang didalamnya terdapat unsur-unsur etika yang harus diperhatikan.
Satu hal pasti bahwa birokrasi merupakan fenomena yang sudah ada sejak dulu kala manusia ingin mencapai tujuan
Etika Birokrasi (Ismam HP)
bersama dalam berbagai wadah organisasi. Bahkan Blau dan Meyer menyatakan bahwa birokrasi merupakan organisasi-organisasi yang didirikan secara resmi yang dibentuk untuk memaksimumkan efisiensi administrasi.
Apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintahan dan pembangunan maka birokrasi berkenaan dengan kelembagaan, aparat dan sistem serta prosedur dalam kegiatan yang dilaksanakan demi kepentingan umum atau kepentingan masyarakat Dalam makna birokrasi yang demikian itu Yahya Muhaimin (1991) mengemukakan birokrasi sebagai keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer yang tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.
Dalam kesempatan ini sesuai dengan tema dan judul makalah maka fokus uraian diarahkan pada keterikatan aparat pemerintah baik sipil maupun militer terhadap etika birokrasi. Mereka seharusnya mempunyai pedoman dan penuntun dalam sikap, perilaku dan perbuatan secara jelas dan rinci, sehingga birokrasi menjadi bersih, dinamis dan bertanggungjawab. Dalam hal ini tidak cukup hanya tanggung jawab yuridis formal tetapi juga tanggungjawab moral. Sebagai konsekuensi logis dari tanggung jawab yang demikian itu etika birokrasi mempunyai peran yang strategis dalam pemerintahan dan pembangunan sehingga cita-cita bangsa dapat diusahakan tercapai dengan cara yang benar dan baik

Landasan birokrasi
Semua nonmatip dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan harus berlandaskan secara idiil Pancasila, konstitusional UUD 1945 dan operasional Garis-Garis Besar Haluan Negara. Landasan yang demikian menjadi kesepakatan nasional yang tidak bisa diganggu-gugat. Masalahnya adalah apakah aparat birokrasi kita tetap berada pada landasan yang demikian dalam kegiatannya (on the right track) ? Dalam kenyataan sering terjadi aparat birokrasi keluar dari landasan dengan berbagai
motivasi. Gejala-gejala dan fakta kolusi dan korupsi menjadi semakin marak yang menjadi indikator bobroknya birokrasi.
Landasan idiil Pancasila menimbul-kan cita-cita yang ideal dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Cita-cita ini dikonsepsikan dan disistimatisir menjadi suatu faham / ideologi. Kemudian dikembangkan dan diajarkan melalui berbagai metode sebagai doktrin bagi semua penyelenggara negara atau aparat birokrasi dan warga negara. Kristalisasi dari ajaran-ajaran itu menjadi asas-asas (Principles) yang dijadikan pedoman dan pegangan hidup. Dalam penerapannya secara terus menerus dan konsekuen menimbulkan tradisi atau kebiasaan yang menjelma menjadi cara hidup atau way of life dalam penyelenggaraan kegiatan mencapai tujuan atau cita-cita.
Dalam way of life demikian terdapat sistem nilai (value system), kepentingan (interest), dan sikap tertentu (attitude). Namun demikian perlu didasari bahwa unsur-unsur way of life yang demikian perlu disosialisasikan sehingga dari waktu ke waktu nampak kemanfaatannya dalam kehidupan, khususnya bagi aparat birokrasi. Dengan kata lain dinamika pemerintahan dan pembangunan harus selalu mengacu kepada butir-butir Pancasila sebagai penuntun sikap dan perilaku para penyelenggara negara dan seluruh warga negara. Untuk itu aparat birokrasi dalam proses kegiatannya harusnya mampu menciptakan strategi untuk menentukan garis-garis besar tindakan (courses of action). Disamping dan bersama-sama dengan itu selalu diperhatikan mengenai tujuan dan sasaran (goal and objective), lingkungan (environment), tantangan-tantangan yang dihadapi (challenges), sumberdaya yang dimiliki (resources) dan juga tahap-tahap waktu yang diperlukan (time framework).
Dengan demikian maka kebijaksanaan
- kebijaksanaan birokrasi, baik yang bersifat administratif maupun operasional selalu mengacu pada landasan idiil (Pancasila). Selanjutnya tujuan, tugas pokok dan fungsionalisasi lembaga-lembaga birokrasi masing-masing mencerminkan penerapan Pancasila secara murni dan konsekuen sebagaimana diikrarkan oleh Orde Baru.
Kemudian landasan konstitusional UUD 1945 yang dilaksanakan secara mumi dan konsekuen berarti asas legalitas yang digunakan oleh aparat birokrasi selalu mengacu kepada “batang-tubuh” UUD 1945. Dalam praktek ketatanegaraan semua aturan perundang-undangan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu lembaga-lembaga birokrasi yang ada, dalam kegiatannya bersifat konstitusional atau mentaati asas legalitas. Apabila dalam sikap, perilaku dan perbuatan aparat birokrasi tidak mengingat lagi asas legalitas yang demikian maka apa yaiig dilaksanakan dalam pemerintahan dan pembangunan bersifat “inconstitutional dan sudah tentu tidak memperhatikan etika birokrasi. Bahkan dapat menimbulkan despotisme yang pada akhimya mengorbankan kehidupan negara dan bangsa.
Kemudian landasan operasional yang dilaksanakan dalam pembangunan berupa GBHN yang disusun melalui mekanisme lima tahunan mengikuti dinamika masyarakat dengan tuntatan dan harapannya yang selalu meningkat. Trilogi pembangunan yang tercantum di dalamnya yaitu :
− Pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya yang menuju
pada terciptanya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat
− Pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi
− Stabilitas nasional yang sehat
dan dinamis.
Ketiga tumpuan pembangunan itu mempunyai peran yang sama-sama penting dan saling mempengaruhi satu sama lain. Namun dalam kenyataan kadang-kadang yang satu dianggap lebih penting daripada yang lain. Fenomena demikian kebanyakan muncul dari aparat birokrasi baik sipil maupun militer. Kalau stabilitas nasional ditonjolkan melebihi yang lain maka pendekatan keamanan (security approach) menjadi berlebihan sedangkan pemerataan dan keadilan serta demokrasi tertinggal jauh.
Memang dengan stabilitas yang sehat dan dinamis, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi namun diimbangi dengan pemerataan dan keadilan secara memadai. Dalam keadaan demikian aspek etika dalam birokrasi pembangunan menjadi “crucial point” yang harus diperhatikan.
Kemudian pertanyaannya seberapa jauh etika agama dalam birokrasi. Etika atau moral atau akhlak dalam arti agama ialah suatu daya yang positif dan aktif yang diperolehnya untuk mengalihkan situasi batinnya (Mukti Ah, 1969: 8). Agama bukan hanya memberikan dasar dan sanksi saja terhadap moral tetapi menjadi landasan dan penuntun berbagai macam latihan rohani dan jasmani supaya para pemeluk agama setapak demi setapak menjadi orang yang bermoral tinggi. Apabila orang tersebut menjadi aparat birokrasi maka iman dan taqwanya akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya.
Dalam kehidupan birokrasi dimensi religius berada diatas landasan idiil. konstistusional dan operasional. Ini berarti agama mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dari semuanya itu. Di negara-negara modern pun pada umumnya ajaran-ajaran agama termasuk kedalam kehidupan bernegara. Demikian juga dalam UUD 1945 yang dalam pembukaan alenea ketiga sudah mencantumkan aspek religius yaitu “berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa ……”
Demikian juga dalam Pasal 29 UUD 1945 dinyatakan:
1 Negara berdasar atas KeTuhanan Yang MahaEsa.
2 Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Oleh karena itu ajaran-ajaran agama yang diterima para pemeluknya menjadi landasan moral yang tinggi dan menjamin kehidupan yang baik duniawi dan ukhrowi. Dimensi religius yang demikian itu seharusnya menggejala dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Apabila aparat birokrasi bermoral tinggi sesuai dengan agamanya maka mustahil terjadi penyelewengan yang merugikan semua pihak.

Birokrasi Patrimonial
Di negara-negara berkembang pada umumnya tipe ideal birokrasi tampak tidak sepenuhnya dapat dicapai bahkan tidak jarang jauh bedanya antara harapan dan kenyataan. Pemerintah dan pembangunan yang bersih, dinamis dan bertanggungjawab masih sangat sulit diwujudkan. Bahkan tidak jarang yang terjadi adalah sebaliknya yaitu timbulnya kolusi dan korupsi yang dibarengi dengan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Keadaan demikian merupakan penyakit birokrasi tetapi anehnya justru birokrasinya yang sering dijadikan “kambing hitam”.
Sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia sekarang tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masmg tahap tersebut membawa corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan. Kepatuhan harus diwujudkan dengan melaksanakan segala peraturan dan perintah kerajaan dan tidak untuk mempertimbangkan untung rugi dan dampaknya. Sikap atau perilaku yang demikian dibarengi dengan timbulnya perasaan dan kepercayaan rakyat bahwa pihak kerajaan akan melindungi para kawula dari segala macam gangguan dan ancaman. Timbullah hubungan ketergantungan pelindung dan yang dilindungi. Hubungan demikian dikategorikan sebagai “patron-client relationship” (James C. Scott, 1972:27). Dalam birokrasi timbul hubungan “bapak-anak buah” secara khusus sebagaimana
berlaku di Indonesia setelah kemerdekaan (Ismani, 1992:171).
Demikian juga “patrimonial of leadership” (Stogdill, 1974:328) timbul dalam kondisi yang demikian. Didalamnya terdapat “traditional authority” dimana kepatuhan dan kesetiaan terhadap pemimpin karena ditopang oleh kewenangan yang bersumber pada tradisi. Birokrasi dalam kerajaan-kerajaan khususnya di Jawa atau birokrasi patrimonial dalam banyak hal masih terasa sampai kini.
Pada jaman kolonial kedaaan birokrasi kerajaan yang demikian itu tidak mengalami perubahan yang berarti tetapi justru dimanfaatkan dan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga lebih efisien demi kepentingan penjajah. Dibuat peratuan-peraturan yang memaksa dan dalam pelaksanaannya memperalat elit pribumi (para bangsawan) dengan keuntungan sebesar-besamya. Pembentukan elit birokrasi yang demikian itu sangat menonjol di Jawa (Sutherland, 1972). Oleh karena itu birokrasi patrimonial yang berakar pada budaya Jawa tidak diubah tetapi ditambah bebannya oleh penjajah.
Kemudian setelah Indonesia merdeka sampai dengan runtuhnya Orde Lama birokrasi patrimonial masih tetap melekat erat pada pemerintahan dan pembangunan. Pengaruh feodalisme dan kolonialisme masih terus berlanjut dan pola hubungan “patron-client ” menjadi referensi utama dalam birokrasi. Dalam Orde Lama orientasi keatas sangat kuat dan menentukan semua “Bapak” harus dihormati, ditaati dan pantang ditentang. Berbeda pendapatpun sebaiknya jangan. Oleh karena itu pada jaman Orde lama sang pemimpin atau birokrat menjadi tumpuan segala-galanya. Benih-benih tirani hidup subur dan puncak penyelewengannya menimbulkan segala macam kesengsaraan yang mendorong lahimya Orde Baru.
Babak baru dalam pemerintahan dan pembangunan dimulai dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun demikian corak “birokrasi patrimonial” masih tetap menjadi warna yang dominan (Liddle, 1977; Robinson, 198 1; Hein, 1982; Muhaimin, 1982). Menurut Hein hubungan “Bapak-Anak buah” mempengaruhi hampir setiap segi penting kehidupan politik di Indonesia (termasuk strategi pembangunan ekonomi-penulis). Sedangkan Liddle mengemukakan bahwa regim Orde Baru bersandar pada jaringan pribadi antara patron-client dan pendukungnya.
Adanya patrionalisme dalam birokrasi merupakan peninggalan sejarah politik dan ekonomi di Indonesia yang sampai sekarang tidak lekang panas dan tidak lapuk karena hujan. Hanya penerapannya yang berbeda sesuai dengan jamannya, prinsip dasarnya tetap sama. “Bagaimanapun juga munculnya birokrasi patrimonial dalam sistem administrasi negara dan sistem politik tidak dikarenakan masih kuatnya ikatan kultur tradisional yang paternalistik.” (Miftah Thoha, 1991:45). Masalahnya adalah bagaimana kita mampu memanfaatkannya dalam birokrasi pembangunan dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkannya.

Sikap Mental dan Etos Kerja Di Kalangan Birokrasi
Sikap mental selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang menjadi landasan etos kerja. Sedangkan nilai-nilai yang dianut berasal dari berbagai sumber antara lain agama, filsafat dan kebudayaan yang diamit oleh suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Nilai-nilai mana yang lebih dominan untuk menimbulkan etos kerja yang tinggi sangat ditentukan oleh proses adopsi dan adaptasi serta pengahayatannya. Sikap mental yang positif dan ideal sangat diperlukan sebagai aparat birokrasi.
Myrdal (1968) mengajukan tiga belas ciri-ciri sikap mental yang seharusnya dimiliki bangsa-bangsa Asia kalau mau berhasil dalam pembangunan yaitu: efisiensi, kerajinan, kerapian, tepat waktu, mengikuti rasio dalam mengambil keputusan dan tindakan, kesediaan untuk berubah, kegesitan dalam mempergunakan kesempatan yang muncul, bekerja sama energetis, bersandar pada kekuatan sendiri, mau kerjasama dan kesediaan untuk memandang jauh ke depan. Sikap mental yang demikian memang baik dan berguna di kalangan birokrasi dan sekaligus menumbuhkan etos kerja modern yang menuju pada efektifitas dan efisiensi yang optimal. Namun masih perlu ditambah sikap dan taqwa serta penguasaan ilmu dan teknologi.
Pertanyaannya adalah bagaimana sikap mental aparat birokrasi kita? Berbagai jawaban dengan bermacam argumen dapat dikemukakan namun satu hal yang pasti bahwa sikap mental aparat birokrasi sebagian besar masih belum sesuai dengan tuntutan pembangunan. Masih nampak gejala-gejala sikap mental yang negatif antara lain kurang bertanggungjawab, suka mencari jalan pintas, mengabaikan mutu, bergaya hidup yang memiru-niru budaya Barat. Sikap-sikap yang demikian menimbulkan etos kerja yang rendah dan produktifitas kerja rendah pula baik kuantitas maupun kualitasnya.
Di kalangan pegawai negeri atau aparat birokrasi masih dominan mentalitas “priyayi” yang tidak sesuai dengan fungsinya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Mereka pada umumnya bekerja untuk mengejar pangkat dan jabatan serta kedudukan dan simbol-simbol prestise tertentu. Oleh karena itu bagi mereka prestasi tidak diutamakan bahkan tidak sedikit yang menganggap prestasi bukan kebutuhan. Sehingga “need for achievement’” sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc Clelland (1977) masih rendah.
Di samping itu mentalitas lain yang masih cukup menonjol adalah sikap konservatif dan tidak mampu memandang jauh ke depan. Timbul perasaan yang selalu tidak puas (ngresulo), tidak kreatif, kurang inisiatif, mudah mencela orang dan sebagainya.
Orientasi vertikal aparat birokrasi juga masih sangat kuat. Mereka memandang para pemimpin atau atasan harus dipatuhi dan dihormati. Dampaknya yang segera kelihatan adalah sikap menunggu perintah dan juga restu sang pemimpin. Sikap mental demikian tidak hanya berlaku dikalangan “priyayi” Jawa tetapi sudah melanda mereka yang bukan Jawa. Mentalitas “priyayi” tersebut banyak disebabkan oleh pengaruh Kolonialisme dan feodalisme dan pada umunmya menimpa kalangan elit birokrasi bukan pegawai kecil.
Masalah rendahnya etos kerja di kalangan birokrasi rupa-rupanya bukan masalah “orang kecil” atau pegawai rendahan tetapi lebih merajalela di kalangan elit birokrasi. Bagi pegawai rendahan asal mereka dihargai sebagai manusia dengan nilai-nilai, pandangan-pandangan dan kebutuhan-kebutuhannya, mereka dengan sendirinya akan bekerja dengan rajin, teliti, setia dan inovatif. Yang mengkorupsikan kualitas moral manusia ialah struktur-stuktur kekuasaan yang eksploitatif dimana orang hanya maju asal “ikut main”. Yang kita butuhkan adalah etos tanggung jawab dari kalangan elit birokrasi, suatu etos kerendahan hati dan tahu diri agar bisa menghormati setiap insan otonomi dalam masyarakat termasuk didalamnya “orang kecil” dan merasa selalu terhadap perbedaan-perbedaan sosial yang sedemikian mencolok. (Franz von Magnis, 1978).
Banyak kalangan elit birokrasi yang ingin tampil beda dengan berbagai fasilitas glamour yang sebenamya tidak sesuai dengan penghasilannya sebagai pegawai negeri. Bagi mereka yang demikian itu sudah pasti etos kerja dan disiplinnya rendah. Kesetiaan dan kepatuhan pada profesinya pantas diragukan dan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat ditelantarkan Oleh karena itu usaha meningkatkan disiplin dan etos kerja di kalangan birokrasi perlu diintensifkan di tingkat atas karena mereka menjadi panutan bagi kalangan bawah.
Etos kerja, disiplin dan motivasi tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam menngkatkan produktifitas kerja. Masalahnya saling terkait dan menjadi perhatian utama dalam pembangunan
sumberdaya manusia. Apabila etos kerja rendah disiplin kerja merosot, motivasi dan produktifitas kerja berkurang.
Disiplin merupakan suatu sikap yang menunjukkan kesediaan untuk menepati atau mematuhi dan mendukung ketentuan, tata tertib, peraturan, nilai serta kaidah yang berlaku. Sikap yang demikian tidak dibawa oleh seseorang sejak lahir tetapi ditentukan oleh keberhasilan pendidikan dan pelatihan, serta pengalaman-pengalaman yang diperoleh.
Di kalangan birokrasi pemerintah banyak menunjukkan kurangnya disiplin kerja. Ada kecenderugan pelanggaran peraturan serta nilai-nilai dan kode etik, juga lemahnya tanggung jawab. Motivasi mereka untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, dinamis dan bertanggung jawab, kurang memadai. Produktifitasnya relatif tetap atau seperti berjalan kaki ditempat. Bahkan dalam bidang-bidang tertentu malahan merosot. Praktek-praktek kolusi dan korupsi serta penyelewengan masih cukup menggejala sehingga merupakan “red-tape” birokrasi. Oleh karena itu gerakan disiplin nasional seyogyanya ditanamkan lebih intensif di kalangan birokrasi. Bagaimanapun juga sikap, perilaku dan perbuatan aparat birokrasi akan menjadi acuan disiplin masyarakat pada umumnya.
Konsekuensi logisnya Pemerintah harus berlaku adil memberi imbalan yang sesuai (reward) bagi mereka yang penuh disiplin dan berprestasi Sebaiknya memberikan hukuman (punishment) terhadap mereka yang melanggar dan menyeleweng. Di kalangan aparat birokrasi dapat juga timbul “disiplin semu” artinya seolah-olah timbul suasana disiplin tetapi hanya saat tertentu dimana pengawasan yang ketat sedang berjalan. Kepatuhan dan kesetiaan mereka palsu sehingga merugikan pemanfaatan sumberdaya manusia dan produktifitasnya rendah. Motivasinya juga rendah karena tidak didorong oleh kehendak yang murni tetapi karena rasa takut.
Apabila orang mempunyai motivasi maka ia akan mempunyai keinginan untuk mencapainya, Dalam kehidupan birokrasi

sering dijumpai orang-orang yang selalu mengembangkan keinginan, tuntutan dan harapan sehingga sulit untuk merasa puas. Tetapi tidak sedikit pula orang yang cepat merasa puas sehingga sulit untuk berkembang lagi. Keinginan yang timbul dari dalam diri manusia memmbulkan dorongan dan semangat atau motivasi hakiki (intrinsic) dan motivasi yang tumbuh dari luar atau pihak lain merupakan motivasi ekstrinsic. Dalam meningkatkan etos kerja di kalangan birokrasi dua model motivasi itu sangat diperlukan sehingga dedikasinya meningkat dan produktifitasnya berkembang dan dengan demikian etika birokrasi dalam pemerintahan dan pembangunan berjalan baik.
Penerapan Kekuasaan Dalam Birokrasi
Sistem pemerintahan Negara Indonesia atau Birokrasi Pemerintah sebagaimana dirumuskan dalam Penjelasan UUD 1945 merupakan pedoman dasar dan kerangka mekanisme bagi penyelenggaraan sistem administrasi negara Indonesia. Dalam sistem pemerintahan negara itu antara lain telah ditetapkan berbagai perangkat Pemerintahan yang berupa lembaga-lembaga negara / lembaga birokrasi dengan tugas, wewenang dan kewajiban masing-masing serta mekanisme hubungan kerja antar lembaga negara dalam rangka menjalankan tugas negara untuk mencapai tujuan nasional atau cita-cita bangsa. Dalam kaitan inilah maka sistem administrasi negara atau sistem birokrasi pemerintahan diselenggarakan dan dikembangkan untuk melaksanakan tugas negara. Dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana dirumuskan dalam Penjelasan UUD 1945 terdapat tujuh kunci pokok sebagai berikut:
I. Indonesia ialah negara berdasarkan atas hukum (rechstaat) Indonesia ialah negara berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat).
II. Sistem konstitusional
Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
III. Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
IV. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan Negara yang tertinggi di bawah Majelis.
V. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

VI. Menteri Negara ialah pembantu Presiden. Menteri Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
VII. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Tujuh kunci pokok tersebut seharusnya dipahami secara bulat dan diterapkan sepenuhnya sehingga masing-masing lembaga birokrasi menyadari dan membatasi diri pada kewenangannya. Demikian juga hubungan antar lembaga juga terdapat rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar sehingga timbul kerjasama yang harmonis.
Dalam implementasi tujuh kunci pokok tersebut terdapat lembaga-lembaga birokrasi pemerintah yang secara struktural bersifat vertikal dan horisontal. Struktur organisasi yang merupakan kerangka yang menunjukkan hubungan antar satuan kerja serta tugas, wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing merupakan landasan mekanisme kerja. Oleh karena itu pendekatan “structural functionalism” mau atau tidak mau seharusnya dipakai untuk memahami penerapan etika kekuasaan dalam birokrasi.
Melalui struktur dan fungsi itulah dapat dilihat adanya hubungan kesejajaran dan kewajaran antar instansi sehingga tidak menimbulkan perasaan bahwa pihaknya yang terpenting. Gejala “self Centered” muncul dalam birokrasi bukan karena sistem birokrasinya tetapi lebih banyak disebabkan oleh aparat birokrasi. Pelanggaran etika birokrasi yang demikian menjalar dari atas ke bawah dan menimbulkan “arrogance of power” atau kecongkakan kekuasaan. Dampak negatifnya antara lain menimbulkan rasa kecewa bagi pihak lain, frustrasi, stress dan lebih lanjut kepercayaan pada para elit birokrasi (pemimpin) merosot dan akhimya dapat kehilangan kekuasaan.
Penyalahgunaan kekuasaan juga dapat menyebabkan melunturnya “power” pejabat atau aparat birokrasi. Dalam hal ini yang dmaksud penyalahgunaan kekuasaan adalah “semua tindakan penguasa, baik yang positif (Belanda: doen) maupun yang negatif (Belanda: nietdoen, nalaten) yang menyebabkan seseorang atau suatu badan hukum atau masyarakat mengalami kerugian lahir dan batin (Yap Thiam Hien, 1973). Dalam “perbuatan’ atau “tindakan” ini termasuk pula tindak perbuatannya, kelalaiannya untuk melakukan sesuatu yang wajib dilakukannya yang bisa merugikan penduduk atau orang-orang yang dipimpin.
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan aparat birokrasi atau para pejabat antara lain: −Tidak ada atau kurangnya perumusan serta rincian yang tegas dan jelas tentang kekuasaan dan wewenang serta kewajiban
dan tanggungjawab. −Berlakunya sistem yang tidak atau terbuka dalam merumuskan kebijakan-kebijakan (policies) dalam manajemen. −Komunikasi yang kurang lancar atau macet. −Tindakan yang kurang tegas terhadap penyimpangan dan penyelewengan.
Untuk mencegah dan menghindari dan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan yang demikian diperlukan keterbukaan dalam organisasi dan manajemen sehingga tidak menimbulkan “powerless” bagi pemimpin dan tidak timbul “voiceless”‘ bagi yang dipimpm. Landasannya adalah demi “public interest” dan bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Para birokrat yang dengan berbagai cara mendapatkan kedudukan tertentu itu berdasarkan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang mempunyai “legitimate power”. Tetapi belum tentu dia mampu menggunakan kekuasaannya secara benar dan baik, efektif dan efisien. Mungkin saja Surat Keputusan itu diperoleh tidak berdasarkan kecakapan dan kemampuan serta kepakarannya tetapi semata-mata ada “hubungan tertentu” dengan pejabat yang mengangkatnya. Orang yang demikian akan merusak citra birokrasi dan pasti pola perilakunya tidak memperhatikan etika birokrasi. Oleh karena itu etika mempunyai peranan strategis yang harus diperhatikan dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Nilai-nilai moral diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan politik ekonomi, kebudayaan, pertahanan dan keamanan. −Birokrasi berada dimana saja dan kapan saja (existence) baik intra maupun antar lembaga dengan perangkat, sistem dan prosedur kegiatannya. Tipe ideal birokrasi tidak sepenuhnya dapat diwujudkan namun bukan berarti birokrasi itu tidak penting. Aspek negatif atau “red-tape” birokrasi seringkali muncul karena perilaku yang tidak etis dari aparat birokrasi, bukan karena sistem birokrasinya.
− Etika berasal dari agama, filsafat dan kebudayaan. Ketiganya tidak saling
− bertentangan tetapi saling melengkapi dan secara komprehensif saling menunjang. Oleh karena pelaksanaan dan pembinaannya untuk para birokrat dilakukan terus menerus dan berkesinambungan.
− Model birokrasi patrimonial masih nampak menggejala di Indonesia dengan segala dampaknya. Dalam hal tertentu nampak positif tetapi tidak jarang pula dampak negatifhya. Model hubungan “Bapak -Anak Buah” dalam kepemimpinan (patrimonial form of leadership) sangat memerlukan etika sehingga “tidak asal bapak senang” tetapi merugikan kepentingan umum. Dimensi-dimensi religius perlu lebih ditonjolkan dalam birokrasi sehingga menyentuh peningkatan iman dan taqwa para birokrat. Keseimbangan kehidupan duniawi dan ukhrowi masih belum sepenuhnya menggejala. Para
birokrat pada umumnya lebih mementingkan kepentingan materi yang kelihatan dari penampilannya.
− Dalam proses birokrasi masih sangat kelihatan jalan pintas yang dilalui demi kepentingan tertentu walaupun melanggar etika. Prestasi belum menjadi orientasi utama para birokrat tetapi prestise yang ditopang oleh simbol-simbol tertentu lebih ditonjolkan.
− Gejala-gejala penyalahgunaan kekuasaan dan kecongkakan kekuasaan muncul di kalangan para birokrat. Sadar atau tidak mereka merusak citra birokrasi, memerosotkan peradaban dan melecehkan etika. Mereka harus kembali kepangkal jalan kearah pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya.

DAFTAR PUSTAKA

Albrow, Birokrasi Alihbahasa M. Rusli Karim dan Totok Daryanto, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989.
Barnard, Chester I., The Function of Executive Harvard University Press, Cambridge-Massachusets, 1971.
Bryant, Corale dan White, Louise G., Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang Penerjemah Rusyanto L., LP3ES, Jakarta, 1987.
Blau, Peter M. dan Meyer, Marshal W., Birokrasi Dalam Masyarakat Modern Ul Press,
ANALISA, CSIS, Jakarta, 1991.
Ihsan Ali-Fauzi, “Nilai-nilai Asia Versus Nilai-nilai Barat Yang Diagungkan Dan Dijadikan Dalih?”, Dalam Harian REPUBLIKA. Tanggal31Desember 1995.
Ismani, “Hubungan Patron-Client
Koentjaraningrat, Rintangan-Rintangan Mental Dalam Pembangunan Ekonomi, Bhratara. Jakarta, 1969
Kebudavaan Mentalitet Dan Pembangunan PT. Gramedia, Jakarta, 1978.
Miftah Thoha, Beberapa Kebijaksanaan Birokrasi, PT. Widya Mandala, Yogyakarta, 1991.
Mc Clelland, David C., “Dorongan Hati Menuju Modernisasi”, Dalam Myron Weyner, Modernisasi____Dinamika Pertumbuhan. Gajahmada University Press, Yogyakarta, 1977.
Oetojo Oesman dan Alfian (penyunting), Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, BP7 Pusat, Jakrta, 1991.
Priyo Budi Santoso, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Rajawali Press, Jakarta, 1983.
Riggs, Fred W., Administrasi Pembangunan : Sistem Administrasi Dan Birokrasi, Diterjemahkan oleh Luqman Hakim, Rajawali Press, Jakarta, 1989.
Rosantini, “Etos Kebudayaan’ Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989.
Scoot, James C., “Patron-Client And Political Change In Southeast Asia”, Dalam American Political Review, No. 1, 1972.
Wiratmo Soekito, “Etos Sosial Suatu Refleksi”, Dalam PRISMA, No. 1, Desember, 1978.
Yap Thiam Hien, “Masalah Hukum Dan Penyalahgunaan Kekuasaan’, Dalam PRISMA Nopember, 1973.
GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA, Ketetapan MPR No. II /MPR/1993, BP-7 Pusat, Jakarta, 1994.
Stogdill, Ralph M., Handbook of Leadership. A Survey of Theory And Research The Free Press, A Division of Mac Millan Pubhshing Co., Inc., New York, 1974.
Sutherland, Heather, The Making Bureaucratic Elite. The Colonial
Transformation of Javanese Priyayi, Heineman Education Books, Singapore, 1972.
Stanislav Andreski, Max Weber: Kapitalisme Birokrasi Dan Agama. Alih bahasa Hartomo H., PT. Tiara Wacana, Yogya, 198
Prof. Dr. L. Dyson, Guru Besar Antropologi Unair mengungkapkan kegundahannya, “Menjadi orang daerah sekarang ini dirasakan sebagai hal paling konkret, karena selain mengingatkan sosialisasi awal pembentukan kepribadiannya, juga menjanjikan peluang untuk menjadi “orang” : politisi, wakil rakyat, bahkan Kepala Daerah….. Menjadi orang Indonesia, lebih-lebih manusia global dirasakan sebagai sesuatu yang abstrak….”

Setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti, akibat krisis ekonomi dan tekanan politik massa yang bertubi-tubi (yang juga didukung sejumlah elite) sehingga pemerintahannya sulit dijalankan, terjadi pembalikan atau pembelokan tajam arah kebijakan politik dan perundang-undangan. Sistem politik dan ekonomi menjadi lebih bebas dan terbuka. Pada saat yang sama tekanan internasional makin gencar dan pengaruhnya makin sulit dielakkan.

Barangkali Indonesia menjadi salah satu pilot project internasional terpenting untuk program bimbingan penyesuaian (diri) terhadap tatanan dan kecenderungan global di bidang ekonomi, politik, bahkan sosial-budaya. Paket global itu, khususnya berupa kapitalisme global dan demokrasi, serta tuntutan-tuntutan ikutannya atau kelengkapannya, termasuk gaya hidup dan identitas global. Pemilu 1999 niscaya merupakan momentum penting dalam proyek demokratisasi global.

Tahun 1999 itu pula diundangkan suatu kebijakan yang disebut-sebut sebagai big bang di bidang otonomi daerah, yaitu UU No. 22/1999. Terbukti perubahan yang drastis itu tidak mudah dilakukan. Kontroversi bahkan sudah berlangsung sebelum undang-undang ini diberlakukan secara efektif (tahun 2001), sehingga MPR (pada tahun 2000) mengeluarkan ketetapan yang berisi rekomendasi untuk merevisi UU No. 22/1999 secara mendasar. Kini undang-undang tersebut bahkan sudah diganti dengan UU No. 32/2004. Melalui undang-undang baru ini untuk pertama kalinya di Indonesia diperkenalkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Dan, kita sudah mempraktikkannya di beberapa daerah di Jawa Timur dengan hasil yang belum sepenuhnya memuaskan atau masih mengandung sejumlah hal yang mengecewakan.

Secara teoretis (Pratchett, 2004) otonomi daerah dapat diinterpretasi dalam tiga dimensi: freedom from, freedom to, dan pereflesian (kebangkitan) identitas lokal. Interpretasi pertama menekankan pentingnya dimensi kewenangan yang dimiliki daerah atau diskresi, yang dimaknai bebas dari campur tangan pemerintah pusat. Kewenangan ini harus dijamin melalui penetapan ketentuan formal. Semakin besar kewenangan yang dimiliki daerah, berarti semakin besar pula otonominya. Tentu interpretasi ini bisa menjadi sensitif, terutama bila dikaitkan dengan konsep kedaulatan negara dan kebutuhan menjaga keutuhan wilayah, karena dengan penekanan pada freedom from seakan-akan setiap daerah ingin berdaulat sendiri-sendiri.

Kedaulatan negara dan kebutuhan menjaga keutuhan wilayah negara tentu mengharuskan campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat pasti tidak menghendaki ada daerah yang bebas sama sekali dari campur tangannya. Karena itu, dimensi ini tidak dipahami sebagai kewenangan penuh atas suatu wilayah, melainkan kewenangan (penuh) dalam urusan-urusan tertentu di wilayah yang bersangkutan. Ini pun masih memancing perdebatan.

Interpretasi kedua lebih menekankan pada dimensi fungsional atau pencapaian hasil (outcomes) tertentu, yaitu kemampuan daerah untuk memajukan atau mengembangkan daerah dengan mengidentifikasi permasalahan, menetapkan solusi, dan menggalang dukungan serta sumber daya dari berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat. Dalam hal ini otonomi dimaknai bebas untuk memajukan daerah, bebas untuk berkreasi, dan bebas menggalang dukungan, tidak harus dengan memiliki kewenangan sendiri secara penuh, melainkan justru dengan kerjasama-kerjasama.

Sementara itu, interpretasi ketiga mengartikan otonomi daerah sebagai kesempatan untuk mengekspresikan identitas politik dan budaya daerah. Otonomi daerah memberi kesempatan dan peluang untuk partisipasi dalam pembuatan keputusan dan pengelolaan sumber daya dengan sekaligus mengekspresikan cara-cara lokal, sehingga proses-proses politik lokal makin mengekspresikan dan mengaktualkan identitas politik lokal.

Praktik otonomi daerah selama ini bila ditilik dari tiga dimensi tersebut telah memperlihatkan perkembangan menarik. Dari segi kewenangan (formal) praktis daerah telah menerima seluruh urusan pemerintahan, kecuali beberapa urusan vital yang memang harus diselenggarakan secara terpusat. Beberapa daerah bahkan telah menerima status sebagai daerah dengan otonomi khusus, yang berarti kewenagannya lebih luas lagi. Dari segi kemampuan untuk memajukan daerah, undang-undang (baik UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004) sebenarnya telah sangat jelas mengamanatkan bahwa otonomi dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, mempercepat pembangunan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan pengalaman yang bervariasi, dimensi ini rupanya belum menghasilkan kemajuan yang memuaskan.

Ekspresi budaya lokal, antara lain, tampak dari makin bervariasinya latar belakang politik, sosial, maupun kultural para anggota DPRD. Demikian pula latar belakang para kepala daerah. Artinya, telah terjadi pluralisasi elite politik lokal. Lazimnya perubahan ini akan berakibat langsung pada pembukaan akses dan pola-pola hubungan antara berbagai kelompok sosial dalam masyarakat dan pejabat maupun institusi-institusi resmi dalam pemerintahan. Dalam pandangan politik klasik, misalnya J.S. Mill, perkembangan semacam ini diyakini akan membawa sejumlah kecenderungan positif. Di antaranya akan menjadi instrumen untuk memperkuat inklusi sosial, akan meningkatkan political skill tokoh-tokoh lokal, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada institusi-institusi politik dan pemerintahan.

Yang terjadi di beberapa daerah, pengekspresian identitas lokal seiring otonomi daerah ini adalah semacam perumusan kembali dan penguatan garis-garis eksklusivisme dan parokhialisme, seperti yang tampak pada isu-isu putra daerah, politik kesukuan, politisasi agama, serta kebangkitan adat. Secara demikian, seolah perkembangan masyarakat Indonesia sedang ditarik kembali ke belakang, padahal tantangan nyata ada di depan. Mengamati situasi ini Prof. Dr. L. Dyson (2005) – seorang pengajar studi budaya lokal di Universitas Airlangga – mengungkapkan kegundahan dalam orasi pengukuhan jabatan guru besarnya yang diberi judul “Menjadi Orang Indonesia dengan Semangat Otonomi Daerah di Tengah Arus Globalisasi. “

Menurut dia, menjadi orang daerah (seringkali bermakna etnik dan/atau agama) sekarang ini dirasakan sebagai hal paling konkret, karena selain mengingatkan sosialisasi awal pembentukan kepribadiannya juga menjanjikan peluang untuk menjadi “orang “: politisi, wakil rakyat, bahkan kepala daerah yang disertai dengan peningkatan kesejahteraan material secara gampang dan drastis. Menjadi orang Indonesia, lebih-lebih manusia global dirasakan sebagai sesuatu yang abstrak. Tak jarang para penggiat HAM dihadapkan pada persoalan dilematis, karena di satu sisi yang lokal-lokal itu dapat menjadi mekanisme pertahanan terhadap gempuran eksternal, tetapi pada sisi lain lokalitas itu rentan dieksploitasi dan tak jarang menjadi sarana penindasan baru, antara lain terhadap kebebasan individu, hak perempuan, dan sebagainya.

* Ditulis oleh Priyatmoko, dosen Fisip Unair, anggota Dewan Pakar Provinsi Jawa Timur, diadaptasi dari sebuah artikel berjudul Penyelenggaraan Pemerintahan Berbasis Budaya Lokal : Tantangan Dan Kendalanya Dalam Berotonomi Daerah Di Era Global, dipublikasikan oleh balitbangjatim.com
0
Analisa dari Teori Agenda Setting dan Teori Spiral of Silence

PENDAHULUAN

Marketing politik dalam sebuah Pemilihan Umum (Pemilu) memainkan peran yang sangat penting karena merupakan bagian dari aktivitas persuasi dalam pendekatan marketing politik. Kampanye mengemas pesan politik secara intensif dalam kurun waktu tertentu yang dibatasi, guna mendapatkan pengaruh di kalangan khalayak politik. Dengan harapan, khalayak mendukung dan menjatuhkan pilihan pada kandidat yang mengkampanyekan diri tersebut.
Satu fenomena yang menonjol dalam Pemilu 2009 adalah semakin kuatnya peranan media massa di Indonesia dalam proses mengkonstruksi citra para kandidat baik perseorangan (caleg, capres dan cawapres) maupun organisasi partai politik. Pemanfaatan media untuk mendongkrak popularitas sebenarnya telah mulai marak dan bebas sejak Pemilu 1999 dan semakin menguat di Pemilu 2004 hingga Pemilu kali ini. Bisa kita katakan kemenangan SBY pada Pemilihan Presiden secara langsung Pemilu lalu, merupakan keberhasilan marketing politiknya, karena partainya sendiri bukanlah partai pemenang Pemilu. Pada Pamilu 2009, masa kampanye diperpanjang menjadi 9 bulan dimulai 12 Juli 2008-April 2009. Dengan 38 partai peserta Pemilu, dan banyaknya tokoh yang menyatakan diri siap menjadi kandidat Preseiden dan Wakil Presiden, tentunya kian meramaikan “pertarungan citra” dalam merebut hati para pemilih. Kandidat yang menguasai industri citra tentunya akan memperbesar peluangnya memenangkan pertarungan tersebut.
Hanya saja untuk memahami peran media massa dalam Pemilu ini, sangat tergantung pada perspektif teori yang digunakan. Dalam makalah ini, kami bermaksud menganalisis fenomena marketing politik di media massa dalam Pemilu 2009 dilihat dari dua teori komunikasi massa yakni : Teori Agenda Setting dan Teori spiral of silence.

PEMILU 2009 DAN PARTISIPASI POLITIK
Tensi politik biasanya memanas seiring dengan munculnya rivalitas antara berbagai kekuatan politik yang bertarung dalam Pemilu. Dalam konteks inilah, politik kerap kali didefinisikan sebagi “who gets what and when”. Sebuah upaya untuk mencapai kekuasaan, yang sejatinya memang menarik minat banyak orang.
Menurut Deliar Noer, Politik merupakan aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat.[1] Kegiatan politik dalam konteks ini menyebabkan munculnya partisipasi politik. Menurut Miriam Budiarjo, partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau kelompok untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya.[2]
Pendapat hampir serupa dikemukakan dalam buku McClosky yang memaknai term partisipasi politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses pembentukan kebijakan umum. The term “Political Participation”Will ever to those Voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the Formation of public polic” [3]
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson menggarisbawahi bahwa partisipasi adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak Efektif” [4]
Bangsa Indonesia sudah bersepakat untuk berdemokrasi melalui Pemilu yang bersifat langsung. Momentum ini dapat mengukur penampilan politik (political performance) pemerintahan dalam suatu sistem demokrasi. Indikator-indikator penampilan politik jika merujuk pada pendapatnya Bingham ada lima, yakni : Pertama, legitimasi pemerintah didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya. Kedua, pengaturan pengorganisasian perundingan (bergaining) untuk memperoleh legitimasi yang dilaksanakan melalui Pemilu yang kompetitif. Ketiga, sebagian orang dewasa dapat ikut serta dalam proses Pemilu, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting. Keempat, penduduk dapat memilih secara rahasiah tanpa ada paksaan. Kelima, Masyarakat dan pemimpinnya bisa menikmati hak-hak dasar warga negara, seperti kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul dan berorganisasi serta kebebasan pers.[5]
Kampanye politik di tahun 2008 kemarin memang masih relatif adem-ayem. Para kandidat yang akan berebut kekuasaan seolah sadar, bahwa pemilih Indonesia adalah pemilih dengan daya ingat pendek. Dana dan energi disiapkan untuk memersuasi massa di waktu yang nantinya berdekatan dengan perhelatan pesta demokrasi. Lima target bidikan waktu penting dalam Pemilu 2009 tentu telah dihitung dan dianalisis secara seksama.


1. Pada 9 April, pemungutan suara untuk Pemilu legislatif baik di level DPR, DPRD dan DPD

2. Pada 8 Juli, perebutan kursi Presiden dan Wakil Presiden putaran pertama

3. Pada 8 September, putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden jika diperlukan. Karena dengan banyaknya kandidat, sepertinya tidak mungkin cukup 1 putaran

4. Pada 1 Oktober mereka yang menjadi pemenang dalam pemilu legislatif, akan dilantik sebagai anggota DPR

5. Pada 20 Oktober merupakan jadwal pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih

Selain target bidikan waktu tadi, jumlah kursi yang tersedia pun menjadi bahan berhitung dalam konstelasi politik yang berkembang. Perang terbuka diprediksi akan berjalan sengit, karena Pemilu langsung menyediakan jumlah kursi yang terbatas. Sebanyak 18.442 kursi akan diperebutkan oleh para kandidat yang namanya telah masuk di Daftar Calon Tetap, rinciannya

1. 15.750 kursi DPRD kota/kabupaten

2. 1.998 kursi DPRD provinsi

3. 560 kursi DPR

4. 132 kursi DPD.


Begitu pun menyangkut pemimpin negeri ini, hanya sepasang saja yang nantinya dipilih. Wilayah perebutan kekuasaan tadi, mendorong seluruh kandidat untuk all out menyambut tahun baru 2009 dengan berbagai amunisi perang citra.
Hasil rapat koordinasi antara KPU dan Depdagri menyimpulkan terjadi penambahan jumlah penduduk 1,2 juta jiwa dalam data kependudukan yang diserahkan oleh pemerintah. Data tersebut akan terus di-up date untuk menyusun data pemilih Pemilu 2009. Koordinator Pokja Pemutakhiran Data Pemilih KPU Sri Nuryanti mengatakan telah disepakati jumlah penduduk di 33 provinsi dan 471 kabupaten/ kota dan 6.093 kecamatan mencapai 225.324.780 jiwa. Jumlah ini meningkat 1.206.512 orang bila dibanding dengan data pada 5 April 2008. Ketika itu, data penduduk dalam negeri yang diserahkan pemerintah sebanyak 224.118.268 orang. Dengan data penduduk potensial pemilih 154.741.787 jiwa (Media Indonesia, Selasa, 22/4). Dengan demikian, ke-38 partai politik, ribuan calon anggota legislatif serta semua pasangan Capres dan Cawapres ini harus meyakinkan khalayak pemilih, bahwa mereka benar-benar layak dipertimbangkan sebagai kandidat yang pantas. Dalam konteks itulah pendekatan marketing politik memiliki fungsi yang strategis.

KONSEPTUALISASI MARKETING POLITIK
Marketing menurut Bruce I Newman adalah proses memilih customer, menganalisa kebutuhan mereka dan kemudian mengembangkan inovasi produk, advertising, harga dan strategi distribusi dalam basis informasi. Marketing dalam pengertian Bruce bukan dalam pengertian marketing biasa, melainkan produk politik berupa imeg politisi, platform, pesan politik dan lain-lain yang dikirim ke audiens yang diharapkan menjadi konsumen yang tepat.[6]
Pendapat lain dikemukakan oleh Mauser, G yang mendifinisikan marketing sebasgai ‘influencing mass behavior in competitive situations’[7]. Marketing politik dianalogikan kepada marketing komersial. Misalnya di sektor komersial harus memiliki target audience dari pemilih yang harusnya mendukung, menggunakan media massa, dalam sebuah lingkungan kompetitif yang dipadati lebih dari satu ‘brand’ produk. Meskipun memang akan ada perbedaan mendasar antara marketing politik dengan marketing komersial. Misalnya, marketing politik mengukur kesuksesan tidak dalam term keuntungan melainkan dalam hasil voting dan efektivitas power.[8] Dalam bukunya Hand Book of Political Marketing, Newman menambahkan dalam peta marketing kandidat (Candidat Marketing Map) paling tidak ada enam tahap yang harus diperhatikan [9]:

1. Riset lingkungan (environment research) : yakni seting dan konteks dimana seorang kandidat mengorganisasikan sebuah kampanye. Hal ini terkait dengan upaya mendifinisikan isu, peluang, dan tantangan yang dihadapi kandidat. Misalnya pada tahap ini meriset situasi ekonomi, mood pemilih (voter satisfaction or dissatisfaction), isu dan konsern penting pemilih, peta demografi pemilih, riset partai dominan atau independen dll.

2. Analisis penilaian internal dan eksternal (internal and external assesment analysis). Kandidat mesti menilai kekuatan dan kelemahan dirinya, kekuatan dan kelemahan organisasi kampanye pada seluruh tahapan pengembangan, status kandidat sebagai incumbent atau penantang, peluang isu-isu kampanye, kekuatan dan kelemahan kompetitor.

3. Marketing strategis (strategic marketing), misalnya terkait dengan segmentasi pemilih (usia, income, pendidikan, etnis, ideologi kelompok dll.), target dan positioning (citra kandidat versus citra lawan)

4. Seting tujuan dan strategi kampanye (goal setting and campign strategy) misalnya menyangkut positioning latarbelakang dan qualifikasi, pesan utama kampanye, pemilihan isu dan solusi konsep pribadi kandidat dll.

5. Komunikasi, distribusi dan perencanaan organisasi (communication, distribution and organization plan). Tahap ini misalnya menekankan pada sosok penampilan, publisitas, iklan dan pemilihan pesan, format serta desain medianya. Termasuk penyiapan organisasinya misalnya saja, fundraiser and development staff, Issue and Research Staff, Media and Publicity Staff, Voulenteers and Party Workers dll.

6. Pasar-pasar (massa) utama dan hasil (key markets and outcomes) yang terkait dengan segmen konstituen pemilih partai, segmen kontributor, segmen media dan publisitas.


Di dalam tulisan lainnnya di buku lain, Newman menulis tentang formula kesuksesan marketing politik yang mestinya mengikuti beberapa atutan dasar. Pertama, menyediakan waktu yang banyak untuk mempelajari kebutuhan dari target customers. Kedua, membuat team pengembangan customer. Ketiga, mendapatkan dukungan dari seseorang yang berkedudukan tinggi di organisasi dan orang yang siap menjadi pembela, menyediakan banyak waktu untuk mengumumkan produk baru, kesuksesan pengembangan produk baru meminta organisasi untuk memapankan sebuah organisasi yang efektif untuk menangani proses pengembangannya.[10]
Dalam praktik Pemilu 2009, marketing politik dapat kita amati dalam proses kampanye politik baik melalui media lini atas (above line media), media lini bawah (below line media), maupun pendekatan media baru (new media campaign). Beragam aktivitasnya misalnya, iklan politik, publisitas, public relations dll. Kampanye menurut Roger dan Storey serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.[11]
Dalam definisi lainnya, Pfau dan Parrot mendefinisikan kampanye sebagai “A Campaign is conscious, sustained and incremental process designed to be implemented over a specified period of time for the purpose of influencing a specified audience (kampanye adalah suatu proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.[12]

MEDIA MASSA SEBAGAI SALURAN MARKETING POLITIK

Kalau merujuk kepada pendapat Blumler dan Gurevitch, ada empat komponen yang perlu diperhatikan dalam mengkaji sistem komunikasi politik. Pertama institusi politik dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Kedua institusi media dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Ketiga orientasi khalayak terhadap komunikasi politik. Keempat aspek-aspek komunikasi yang relevan dengan budaya politik.[13]
Pendapat hampir senada dikemukakan Suryadi, menurutnya sistem komunikasi politik terdiri dari elit politik, media massa dan khalayak. Dari kedua pendapat tadi dapat kita temui posisi penting media dalam marketing politik. Setiap persuasi politik yang mencoba memanipulasi psikologis khalayak sekarang ini, sangat mempertimbangkan peranan media massa.[14]
Untuk memperkuat argumen bahwa media sangat penting dalam proses marketing politik, baiknya kita memahami dulu karakteristik media massa. Media massa merupakan jenis media yang ditunjukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
Perkataan “dapat” menjadi sangat rasional karena seperti dikatakan Alexis S.Tan, komunikator dalam media massa ini merupakan suatu organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat yang secara spasial terpisah.[15]
Dengan daya jangkau yang relatif luas dan dalam waktu yang serentak, mampu memainkan peran dalam propaganda. Relevan dengan pendapat Cassata dan Asante, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat, bila arus komunikasi massa ini hanya dikendalikan oleh komunikator, situasi dapat menunjang persuasi yang efektif. Sebaliknya bila khalayak dapat mengatur arus informasi, situasi komunikasi akan mendorong belajar yang efektif.[16]
Dalam konteks era informasi sekarang ini, institusi media massa seperti televisi dan surat kabar dipercaya memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan secara signifikan. Serangkaian simbol yang memberikan makna tentang realitas “ada” dan pengalaman dalam kehidupan, bisa ditransformasikan media massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa diakses anggota masyarakat secara luas.
Tentu saja dalam perkembangnnya, banyak pihak yang terlibat dalam pemanfaatan media massa sebagai instrumen pemenuhan kepentingannya. Sebut saja negara (state), pasar (market), kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group) dll.
Proses marketing politik di era sekarang sangat sulit menafikan keberadaan media massa sebagai salah satu saluran utama yang dapat dipergunakan dalam komunikasi politik. Saluran media massa ini memegang posisi penting di luar saluran face-to-face informal, struktur sosial tradisional, saluran input dan saluran out put.

ANALISA : PERSPEKTIF TEORI AGENDA SETTING
Teori Agenda Setting diperkerkenalkan oleh Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw dalam tulisan mereka yang berjudul “The Agenda Setting Function of Mass Media” yang telah diterbitkan dalam Public Opiniom Quarterly pada tahun 1972. Menurut kedua pakar ini jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. [17]
Agenda Setting menggambarkan pengaruh yang kuat dari media, terutama kemampuannya untuk mengatakan isu apa yang penting dan tidak. McComb dan Shaw menyelidiki kampanye presiden di tahun 1968, 1972 dan 1976. Dalam risetnya tahun 1968, mereka fokus pada dua elemen pokok yakni : kesadaran dan informasi. Dalam riset empiris di sebuah wilayah di Chapel Hill North Caroline. Saat itu riset mensurvey 100 orang pemilih yang belum memutuskan pilihan tentang apa yang mereka pikirkan di tengah berita aktual yang dipublikasikan media. Studi tersebut menemukan bukti bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat (0,975) antara urutan prioritas pentingnya 5 isu yang dilansir oleh media di Chapel Hill dengan urutan prioritas pada responden. Hasil yang hampir identik dan cocok dengan hipotesis mereka bahwa media massa memosisikan agenda opini publik dengan penekanan topik-topik tertentu yang khusus. Alexis S Tan meyimpulkan bahwa dalam Teori Agenda Setting, meningkatnya nilai penting suatu topik pada media massa menyebabkan meningkatnya nilai penting topik tersebut pada khalayak. [18]
Dengan teknik pemilihan dan penonjolan, media memberikan petunjuk tentang mana issue yang lebih penting. Karena itu, model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media kepada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan itu. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat.
Sementara itu Manhein sebagaimana dikutip oleh Effendy, menyatakan bahwa terdapat konseptualisasi agenda yang potensial untuk memahami proses agenda setting yakni agenda media, agenda khalayak dan agenda kebijakan. Masing-masing agenda tersebut mencakup dimensi-dimensi sebagai berikut[19] : pertama, untuk agenda media, dimensi-dimensinya :

* Visibility (visibilitas) yakni jumlah dan tingkat menonjolnya berita
* Audience salience (tingkat menonjolnya bagi khalayak) yakni relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak

* Valence (Valensi) yakni menyenangkan atau tidak menyenangkan cara pemberitaan bagi suatu peristiwa


Kedua, agenda khalayak, adapun dimensi-dimensi yang biasanya ada dalam agenda khalayak adalah :

* Familiarity (keakraban) yakni derajat kesadaran khalayak akan topik tertentu

* Personal Salience (penonjolan pribadi) yakni relevensi kepentingan dengan ciri pribadi

* Favorability (Kesenangan) yakni pertimbangan senang atau tidak senang akan topik berita


Ketiga, agenda kebijakan, adapun dimensi-dimensi yang biasanya ada dalam agenda kebijakan adalah :

* Support (dukungan) yakni kegiatan menyenangkan bagi posisi suatu berita tertentu
* Likelihood of action (kemungkinan kegiatan) kemungkinan pemerintah melaksanakan apa yang diibaratkan

* Freedom of action (kebebasan bertindak) yakni nilai kegiatan yang mungkin dilakukan pemerintah.


Marketing politik di media massa tentunya tidak lepas dari pembicaraan soal efek, karena ini merupakan entry point bahasan agenda setting. Komunikator politik yang hendak menggunakan media massa sebagai medium penyampaian pesan politik sudah seharusnya memahami masalah efek ini. Efek terdiri dari efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung ini berkaitan dengan issues, apakah issue itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak (pengenalan); dari semua issues, mana yang dianggap paling penting menurut khalayak (salience); bagaimana issues itu diranking oleh responden dan apakah rangkingnya itu sesuai dengan rangking media.
Efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang peristiwa tertentu) atau tindakan (seperti memilih kontestan atau kandidat dalam Pemilu). Pada kenyataannya menurut perspektif teori agenda setting, media massa menyaring artikel, berita atau acara yang disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan.
Yang menarik dicermati, karena pembicara, pemirsa dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan dan bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (community salience).
Masyarakat tentunya memiliki hak untuk tahu (right to know) yang akhirnya menjadikan suatu isu atau peristiwa menjadi public sought (permintaan publik) akan informasi tentang isu atau peristiwa tersebut. Media dengan kepentingan teknis, idealisme dan pragmatismenya memilih, mengemas dan akhirnya mendistribusiakan kepada khalayak kalau sesuatu itu penting.
Relevan dalam konteks ini, media melakukan pengemasan (framing). Membuat frame berarti menyeleksi beberapa aspek dari pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol. Esensinya dilakukan dengan berbagai cara antaralain, penempatan (kontekstualisasi), pengulangan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplikasi dll. Framing merupakan cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana.
Sebuah upaya persuasif dalam kemasan marketing politik di media massa dari perspektif agenda setting tentunya harus memperhatikan bebepara hal pokok. Pertama, struktur makro, artinya makna umum dari suatu tampilan marketing politik di media yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan. Kedua, superstruktur, yang merupakan struktur marketing politik yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks atau acara yang dibuat dan diarahkan kepada khalayak tersusun secara utuh.
Ketiga, struktur mikro, ini merupakan marketing politik yang dapat diamati melalui bagian kecil dari suatu teks atau acara di media massa. Kalau dalam wujud teks misalnya kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, atau gambar, dan angel pengambilan photo suatu kejadian. Hal-hal yang diamati dalam struktur mikro misalnya meliputi semantik yaitu bagaimana bentuk susunan kalimat yang dipilih. Stilistik, yaitu bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita, dan retoris yaitu bagaimana dan dengan cara apa penekanan itu dilakukan. Marketing politik dalam media massa tentu saja berbeda dengan marketing yang dilakukan lewat model rapat akbar partai dan ceramah di lapangan. Marketing di media sangat dibatasi dengan waktu atau space yang disediakan. Oleh karena itu kemampuan pengemasan menjadi hal yang sangat pokok.
Dari perspektif agenda setting, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang anggap penting. Bila Prabowo dan Partai Gerindra secara terus menerus diberi label penolong dan pelindung para petani, pedagang tradisional maka lambat laun Prabowo akan dianggap dalam persepsi khalayak sebagai penolong dan pelindung wong cilik. Iklan Prabowo dalam berbagai versi di televisi ternyata mampu menaikan tingkat penerimaan khalayak akan sosok Prabowo dan partai Gerindra. Berkat Iklannya yang terus menerus di berbagai televisi menurut hasil Survey Lembaga Survey Nasional (LSN) pada 20-27 September 2008, menunjukkan tingkat elektabilitas pemilih menjadi 14, 2 persen. Dengan demikian dia menempati posisi ketiga setelah SBY dengan tingkat elektabilitas 30 persen dan Megawati 15,3 persen. Hasil Survey terhadap 400 responden di 15 Kota tersebut menunjukkan alasan mengapa mereka tertarik Prabowo, jawabannya ternyata 79,9 persen responden menyatakan mereka tertarik karena Iklan Probowo yang simpatik dengan pesan-pesan mewakili para petani, nelayan dan pedagang pasar tradisional.[20] Ini menunjukkan hal penting, bahwa jika media selalu mengangkat citra Prabowo yang dekat dengan kaum petanim nelayan dan pedagang pasar tradisional maka pemilih pun akan memikirkan bahwa Prabowo sebagai sosok yang penting sebagaimana yang dicitrakan oleh media.
Kita juga perlu mengkritisi perspektif agenda setting dalam menganalisa marketing politik di media massa. Agenda setting memandang media massa melakukan ”to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dalam konteks ini, perlu dipertanyakan, apakah penilaian khalayak tentang suatu isu atau pesan marekting yang dianggap penting itu karena penonjolan yang dilakukan oleh media atau karena faktor-faktor lain. Karena dalam realitasnya, seringkali cara pandang seseorang mengenai pemahaman terhadap pesan politik, sebelumnya sudah terbentuk melalui pengaruh interpersonal, melalui interaksi di organisasi, dalam norma kelompok atau melalui pemuka pendapat melalui jalinan komunikasi two-step flow-communication.


ANALISIS PERSPEKTIF TEORI SPIRAL OF SILENCE
Elizabeth Noelle-Neumann (seorang professor emeritus penelitian komunikasi dari Institute fur Publiziztik Jerman) adalah orang yang memperkenalkan teori spiral keheningan/kesunyian ini. Teori ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1984 melalui tulisannya yang berjudul The Spiral of Silence. Secara ringkas teori ini ingin menjawab pertanyaan, mengapa orang-orang dari kelompok minoritas sering merasa perlu untuk menyembunyikan pendapat dan pandangannya ketika berada dalam kelompok mayoritas? Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa seseorang sering merasa perlu menyembunyikan “sesuatu”-nya ketika berada dalam kelompok mayoritas.
Ide terpenting yang mendasari model ini adalah bahwa sebagian besar individu mencoba menghindari isolasi dalam pengertian sendirian mempunyai kepercayaan atau sikap tertentu. Oleh karenanya seseorang memperhatikan lingkungannya dalam rangka mempelajari pandangan mana yang semakin kuat dan yang mana semakin tidak populer.
Tesis teori ini bersandar pada dua asumsi. Pertama, bahwa orang mengetahui mana opini yang berkembang dan mana opini yanng tidak berkembang. Hal ini disebut quasi-statistical sense karena orang mempunyai perasaan terhadap presentase penduduk untuk dan terhadap posisi-posisi tertentu. Asumsi kedua, adalah bahwa orang menyesuaikan pengungkapan opini mereka terhadap persepsi-persepsi ini.[25]
Teori Spiral Keheningan ini dapat diuraikan sebagai berikut: individu memiliki opini tentang berbagai isu. Akan tetapi, ketakutan akan terisolasi menentukan apakah individu itu akan mengekspresikan opini-opininya secara umum. Untuk meminimalkan kemungkinan terisolasi, individu-individu itu mencari dukungan bagi opini mereka dari lingkung­annya, terutama dari media massa.
Sprial kesunyian tampaknya disebabkan oleh ketakutan terhadap keterasingan. Seperti yang dinyatakan oleh Noelle-Nueman, ”berjalan bersama dengan kelompok adalah keadaan yang membahagiakan, tetapi jika hal ini tidak dapat dilakukan karena anda tidak akan sependapat dengan keyakinan yang dinyatakan secara umum, paling tidak anda akan diam sebagai pilihan kedua, sehingga orang lain akan bersama anda”[26] Dengan demikian, dapat kita nyatakan bahwa spiral kesunyian bukan sekedar keinginan berada pada pihak yang menang, melainkan merupakan usaha untuk menghindrai keterasingan dari kelompok sosial. Spiral keheningan mengajak kita kembali kepada teori media massa yang perkasa, yang mempengaruhi hampir setiap orang dengan cara yang sama.
Noelle-Newman (1984) menyatakan bahwa kekuatan media massa diperoleh dari: (1) kehadirannya di mana-mana (ubiquity); (2) pengulangan pesan yang sama dalam suatu waktu (kumulasi); dan (3) konsensus tentang nilai-nilai di antara mereka yang bekerja dalam media massa, yang kemudian direfleksikan dalam isi media massa.
Dalam marketing Pemilu 2009, nampak sebuah perubahan mendasar misalnya dilakukan PKS. Tema Iklan-iklan PKS cenderung semakin menyesuaikan dengan opini mayoritas di Indonesia. Jika kita perhatikan, sewaktu PKS pertama kali menjadi partai (saat itu bernama PK), jargon-jargon iklannya sangat terbatas bahkan terkesan ekslusif, misalnya tentang memperjuangan Syari’ah atau ajakan untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah (sebuah jargon yang kerap ditafsirkan oleh sebagian organisasi Islam lainnya sebagai semangat untuk menjalani Islam secara paripurna termasuk upaya mendirikan negara Islam). Sehingga dalam Pemilu 1999, suara PKS tidak signifikan bahkan untuk dapat menjadi peserta Pemilu 2004, PK harus berganti nama dan logo karena tidak lolos electoral treshold. Berbagai jargon yang kurang diminati oleh opini mayoritas ini tentu saja membuat PKS memberlakukan penyesuaian-penyesuaian. Dia mencoba untuk meminimalkan kemungkinan terisolasi, individu-individu di PKS mencari dukungan bagi opini mereka dari lingkung­annya, terutama dari media massa. PKS dalam Pemilu 2009 memerhatikan lingkungannya dalam rangka mempelajari pandangan mana yang semakin kuat dan yang mana semakin tidak populer. Bukti perubahan tersebut, misalnya Iklan PKS di Pemilu 2009 menampilkan wajah nasionalisnya yang lebih kental. Misalnya Iklan versi Hari Pahlawan, Iklan versi Hari Ibu juga Iklan Versi Soeharto. PKS sengaja tidak terlampau menunjukkan pandangan keislamannya yang kental karena mereka menyadari jargon-jargon Islam yang ekslusif tidaklah relevan dengan opini mayoritas Bangsa Indonesia meski penduduk terbesar Indonesia adalah Muslim.

PENUTUP
Pendekatan marketing politik dalam Pemilu 2009 akan semakin intensif karena dukungan media massa. Saat ini industri media di Indonesia sangat maju pesat, sehingga memungkinkan digunakan secara intensif dalam marketing politik para kandidat baik perseorangan maupun kelompok. Ketiga teori yang dibahas di atas tentunya memiliki cara pandang masing-masing dalam melihat fenomena ini. Teori Agenda Setting lebih melihat bahwa media mampu menonjolkan apa yang nantinya juga akan dianggap penting oleh khalayak. Teori Kultivasi melihat bahwa terpaan media massa termasuk marketing melalui media akan mampu menanamkan sikap dan nilai tertentu pada khalayak. Sementara Teori Spiral of Silence menunjukkan seseorang akan memerhatikan lingkungannya dalam rangka mempelajari pandangan mana yang semakin kuat dan yang mana semakin tidak populer. Pandangan minoritas biasanya menyesuaikan diri dengan opini publik yang berkembang. Sementara media massa biasanya menjadi berpengaruh dalam pembentukan opini publik tersebut. Dengan demikian ketiga teori tersebut, cukup bisa menjelaskan realitas marketing politik partai-partai politik dalam perhelatan demokrasi 2009.

DAFTAR RUJUKAN
[1] Noer, Deliar., Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta : Rajawali, 1983),h.6
[2] Budiarjo, Miriam. (peny.). Partisipasi dan Partai Politik. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 1998), h. 1-2
[3] McClosky, Herbert., Political Participation, International Encyclopedia of the Social Sciences, Edisi ke-2 (New York: The McMillan Company and the Free Press, 1972), XII, h. 252
[4] Huntington, Samuel P. and Joan M. Nelson, No Easy Choice: Political Participation in developing Countries (Cambridge : Harvard University Press,1977),h. 3
[5] Powel Jr., Bingham. Contemporary Democracies, Participan, Stability and Violence. (New York : Harvard University Press. 1982),h.3
[6] Newman, Bruce., The Mass Marketing of Politics Democracy in An Age of Manufactured Images, (London, New Delhi : Sage Publications, 1999), h. 3
[7] Mauser, G., Political Marketing : An Approach to Campign Strategy, (New York : Praeger, 1983), h.5
[8] Ibid, h.5
[9] Newman, Bruce I (ed.), Handbook of Political Marketing, (London : Sage Publication Inc., 1999), h. 6-10
[10] Newman, Bruce I and Perloff, Richard M, Political Marketing : Theory, Research and Applications, in Kaid, Lynda Lee, Handbook of Political Communications Research, (London : Lawrence Erlbaum Associates Publisher, 2004), H.24
[11] Roger, EM & Storey J.D. Communication Campaign. In C.R. Berger & S.H Chaffee (ed..), Handbook of Communications Science, (New Burry Park, CA : Sage, 1987)
[12] Pfau, Michael & Roxanne Parrot. Persuasive Communication Campaign, (Massachussets: Allyn and Bacon, 1993)
[13] Blumler, Jay G. and Gurevitch, Michael (1995).The Crisis of Public Communication. (London and New York : Routledge).h.46
[14] Suryadi,Syamsu. Elit Politik dalam Komunikasi Politik di Indonesia. Dalam Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun. Indonesia dan Komunikasi Politik. (Jakarta : Gramedia, 1993).h.23
[15] Tan, Alexis S (1981). Mass Communication Theories and Research. (Ohio : Grid Publising, Inc).p.56
[16] Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. ( Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994), h. 56
[17] Effendy, Onong Uchjana, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.287
[18] Tan, Alexis S., Mass Communication Theories and Research, (Clumbus, Ohio : Grid Publishinng Inc.), h. 277).
[19] Effendy, Onong Uchjana, h. 288-289
[20] http://www.detik.com/, Kamis, 09 Oktober 2008
[21] Severin, Werner J and James W. Tankard, Communication Theories; Origin, Methods, and Uses in the Mass Media. Fifth Edition. (University of Texas at Austin: Addison Wesley Longman Inc, . 2001),h.268
[22] Baran, Stanley J. Mass Communication Theory; Foundations, Ferment, and Future, 3rd edition. (Belmont, CA : Thomson Learning, 2003), h.324-325
[23] McQuail’s, Denis. Mass Communication Theory. (London. 4th edition: SAGE Publications, Inc, 2001).h.465
[24] Perse, Elizabeth M. Media Effects and Society. (Mahwah, NJ : Lawrence Erlbaum Associates, Inc, 2001), h. 215
[25] Winarso, Heru Puji, Sosiologi Komunikasi Massa, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher), 2005 h. 93
[26] Ibid, h. 94